

Teknologi Geospasial Ungkap Waktu Tempuh untuk Akses Fasilitas Kesehatan Terlalu Lama
Bayangkan seorang ibu hamil di pedalaman Papua mengalami komplikasi dan harus segera melahirkan melalui operasi caesar. Sayangnya, rumah sakit dengan layanan bedah obstetri darurat terdekat berjarak lebih dari dua jam perjalanan. Dalam kondisi seperti itu, waktu bukan sekadar angka, tetapi bisa menjadi penentu hidup dan mati.
Inilah yang coba diungkap oleh sebuah penelitian gabungan dari Universitas Airlangga. Dengan bantuan teknologi geospasial, tim peneliti memetakan kesenjangan akses perempuan usia subur terhadap layanan bedah obstetri darurat di seluruh Indonesia. Hasilnya, meski secara nasional Indonesia mencatat capaian tinggi, masih banyak daerah yang tertinggal dalam hal waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan krusial ini.
Ketimpangan Akses di Balik Capaian Nasional
Angka 94,5% perempuan usia subur di Indonesia yang dapat mengakses layanan bedah obstetri darurat dalam waktu dua jam memang tampak mengesankan. Bahkan, angka ini melebihi target global yang ditetapkan Lancet Commission on Global Surgery (LCoGS), yakni 80% pada tahun 2030.
Namun, hasil analisis spasial dari tim Universitas Airlangga mengungkap realitas berbeda. Delapan provinsi masih berada di bawah ambang batas tersebut. Provinsi seperti Papua, Maluku, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau menunjukkan angka akses yang jauh di bawah target. Di Papua Selatan, misalnya, hanya 42,8% perempuan usia subur yang dapat menjangkau rumah sakit dengan layanan bedah obstetri dalam waktu dua jam.
Masalahnya bukan jumlah fasilitas, melainkan penyebarannya. Dari 3.202 rumah sakit yang tercatat secara nasional, 2.855 (89,2%) menyediakan layanan dokter spesialis obstetri dan ginekologi (OBGYN). Namun, distribusi layanan ini sangat timpang. Jakarta mencatat 100% akses dalam waktu dua jam dan 95% dalam waktu 30 menit berjalan kaki. Sebaliknya, Papua Pegunungan hanya mencatat 46,7%.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa wilayah seperti Papua memiliki kepadatan penduduk terendah di Indonesia. Di sana, hanya terdapat 2 hingga 5 perempuan usia subur per kilometer persegi. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan konvensional yang hanya mengandalkan rasio jumlah penduduk tidak cukup. Kita perlu pendekatan geospasial yang mempertimbangkan kondisi geografis dan hambatan akses nyata.
Menembus Angka, Mendekatkan Harapan
Teknologi geospasial memberikan jalan keluar. Dengan menganalisis jarak tempuh, kepadatan penduduk, dan lokasi fasilitas, pemerintah dapat menentukan lokasi ideal untuk membangun rumah sakit baru atau menyiapkan alternatif, seperti rumah sakit keliling, klinik berjalan, hingga telemedisin.
Kebijakan kesehatan tidak bisa lagi bersifat satu ukuran untuk semua. Di wilayah seperti Jawa, satu rumah sakit bisa melayani ribuan orang dengan akses mudah. Namun, di daerah pegunungan dan kepulauan, rumah sakit bisa jadi tak berguna jika masyarakat tidak bisa mencapainya tepat waktu.
Penelitian ini menggunakan data dari Kementerian Kesehatan, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), serta peta permukiman dari Facebook High-Resolution Settlement Layer (HRSL). Kombinasi data ini memungkinkan pemetaan yang akurat tentang siapa yang tertinggal, di mana mereka berada, dan apa yang perlu dilakukan.
Dengan informasi seperti ini, pemerintah pusat dan daerah bisa lebih tepat sasaran dalam merencanakan pembangunan infrastruktur kesehatan. Peta geospasial bukan sekadar gambar, ia adalah panduan kebijakan yang bisa menyelamatkan nyawa.
Angka rata-rata nasional sering menipu. Di atas kertas, Indonesia telah melampaui target global. Namun, bagi ibu hamil yang tinggal di lereng gunung atau pulau terpencil angka itu tidak berarti apa-apa jika mereka tetap harus menempuh perjalanan berjam-jam ke rumah sakit.
Teknologi geospasial membuka mata kita akan pentingnya pemerataan layanan, bukan hanya ketersediaan. Studi ini memberi pelajaran penting: akses kesehatan tidak hanya harus ada, tetapi juga harus dekat. Hanya dengan begitu, keadilan kesehatan bisa benar-benar diwujudkan.
Sumber: Tjokroprawiro, dkk.
