

Tim Riset UNAIR Gunakan Pemetaan Spasial untuk Ungkap Konsentrasi Kasus Kusta di Jawa Timur
Penyebaran kusta di Jawa Timur menunjukkan pola spasial yang kompleks. Faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi saling berinteraksi lintas wilayah. Analisis berbasis data spasial mengungkap bahwa penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae ini tidak hanya bergantung pada faktor medis semata. Penyakit tersebut juga bergantung pada kondisi sosial-ekonomi dan kualitas lingkungan di sekitarnya. Fenomena ini mencerminkan pentingnya pendekatan geospasial dalam memahami dan menanggulangi penyakit menular kronis seperti kusta.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dan Kementerian Kesehatan RI, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat serius di Indonesia. Laporan resmi tahun 2023 mencatat 7.166 kasus nasional, dengan Jawa Timur menempati posisi tertinggi sebanyak 2.124 kasus. Pola penyebaran yang tidak merata menunjukkan adanya keterkaitan antarwilayah. Kondisi suatu daerah dapat memengaruhi, atau dipengaruhi oleh, daerah sekitarnya.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Dr. Toha Saifudin dan rekan dari Universitas Airlangga menggunakan pendekatan regresi spasial dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi persebaran kusta di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, dengan variabel utama meliputi persentase kasus kusta, kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, rata-rata lama sekolah, akses sanitasi layak, dan rasio tenaga kesehatan.
Hasil pemetaan tematik (thematic mapping) menunjukkan bahwa wilayah dengan konsentrasi kasus tertinggi berada di Pulau Madura (Sumenep, Sampang, Pamekasan, Bangkalan) dan kawasan pesisir timur, seperti Probolinggo, Situbondo, serta Bondowoso. Sebaliknya, kota-kota besar, seperti Surabaya, Malang, dan Kediri, menunjukkan prevalensi lebih rendah berkat fasilitas kesehatan yang memadai dan akses sanitasi yang lebih baik.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan dua model utama, yakni Spatial Lag Model (SLM) dan Spatial Error Model (SEM), dengan pembobotan spasial berbasis queen contiguity. Pembobotan tersebut menganggap dua wilayah sebagai tetangga jika berbagi batas sisi atau sudut. Pengujian awal melalui Indeks Moran-I dan Breusch-Pagan Test menunjukkan adanya autokorelasi spasial signifikan, menandakan bahwa kasus kusta di satu daerah berkaitan erat dengan daerah di sekitarnya.
Dari ketiga model yang diuji (regresi klasik, SLM, dan SEM), model SEM terbukti paling akurat dengan koefisien determinasi (R²) sebesar 67,14% dan nilai AIC 213,023. Hal ini berarti model tersebut mampu menjelaskan hampir dua pertiga variasi kasus kusta antarwilayah berdasarkan faktor-faktor yang diuji. Dua variabel yang terbukti signifikan adalah rata-rata lama sekolah dan rasio tenaga kesehatan.
Interpretasi hasil menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh negatif terhadap kasus kusta. Makin tinggi pendidikan masyarakat, makin rendah prevalensi penyakit. Pendidikan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebersihan, mengurangi stigma terhadap penderita, serta mendorong deteksi dan pengobatan dini. Sementara itu, rasio tenaga kesehatan yang lebih tinggi berkorelasi dengan peningkatan deteksi dini dan efektivitas penanganan sehingga menurunkan angka kasus baru.
Meski variabel seperti kepadatan penduduk, kemiskinan, dan akses sanitasi tidak signifikan secara statistik, ketiganya tetap menunjukkan hubungan spasial penting. Wilayah padat penduduk meningkatkan interaksi sosial yang memperbesar risiko penularan; kemiskinan membatasi akses ke layanan kesehatan; dan sanitasi buruk memperburuk kondisi lingkungan yang memicu kerentanan terhadap infeksi.
Dari temuan ini, sejumlah rekomendasi kebijakan berbasis spasial diajukan. Pemerintah daerah disarankan untuk melakukan hal berikut.
-
Meningkatkan distribusi tenaga kesehatan di wilayah dengan beban kasus tinggi, seperti Madura dan pesisir timur.
-
Memperluas program edukasi kesehatan masyarakat guna memperkuat pengetahuan, mengurangi stigma, dan mendorong pengobatan dini.
-
Memperbaiki infrastruktur sanitasi dan layanan kesehatan di daerah miskin dan padat penduduk.
-
Menerapkan kebijakan berbasis bukti spasial (evidence-based spatial policy) agar intervensi di satu wilayah memberikan efek positif bagi daerah sekitar yang saling terhubung secara geografis.
Dengan pendekatan spasial, pengendalian kusta di Jawa Timur tidak hanya dapat difokuskan pada wilayah berisiko tinggi, tetapi juga memperhitungkan keterkaitan geografis antarwilayah.
