

Pakar IPB Tekankan Tata Kelola Perikanan Berbasis Keadilan Spasial
Perikanan tangkap di Indonesia menghadapi tantangan serius yang makin kompleks, terutama dalam konteks spasial. Tekanan berlebih terhadap stok ikan, praktik penangkapan ilegal (illegal fishing), dan kerusakan ekosistem laut telah menyebabkan degradasi wilayah perairan yang sebelumnya menjadi pusat produksi perikanan. Akibatnya, bukan hanya ketahanan pangan yang terancam, melainkan juga keberlanjutan ekonomi dan ekologis di kawasan pesisir dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menunjukkan bahwa sekitar 34 persen stok ikan global telah mengalami overfishing, termasuk di perairan Indonesia. Kondisi ini menuntut adanya pengelolaan perikanan yang tidak hanya berbasis hukum administratif, tetapi juga mempertimbangkan dimensi ekologi dan spasial secara menyeluruh. Pengelolaan yang mempertimbangkan keadilan spasial, terutama bagi nelayan kecil yang bergantung pada zona-zona penangkapan tradisional, menjadi sangat krusial.
Guru Besar Perikanan Tangkap dari IPB, Prof. Dr. Ir. Ronny Irawan Wahju, M.Phil., menekankan pentingnya tata kelola perikanan berbasis ekosistem dan keadilan spasial. Ia mengungkapkan bahwa keragaman alat tangkap di berbagai wilayah memberikan dampak ekologis yang berbeda, tergantung pada karakteristik ruang laut tempat alat tersebut digunakan. Oleh karena itu, inovasi dalam alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi spasial setempat.
“Kita membutuhkan tata kelola yang tidak hanya berbasis hukum, tetapi juga berbasis ekosistem dan keadilan spasial bagi nelayan kecil,” ujar Prof. Ronny dalam orasi ilmiahnya, Kamis, 12 Juni 2025.
Menurutnya, berbagai teknologi telah diterapkan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Penggunaan Bycatch Reduction Device (BRD) pada jaring hela udang, misalnya, telah mengurangi tangkapan sampingan secara signifikan. Di sektor perikanan sidat, alat tangkap push net (pukat dorong) terbukti sangat efisien dengan tingkat efektivitas mencapai 93,4 persen dan tangkapan sampingan hanya 6,6 persen.
Sementara itu, penerapan lampu LED pada jaring insang di berbagai perairan menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi tangkapan spesies yang dilindungi, seperti penyu, pari manta, dan mimi laut hingga 60 persen. Inovasi-inovasi ini menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan teknologi yang mempertimbangkan kondisi spasial dapat berkontribusi dalam perlindungan biodiversitas laut.
Namun, permasalahan ghost gear, atau alat tangkap yang hilang dan terus aktif secara pasif di laut, menjadi ancaman tersembunyi dalam ruang laut. Keberadaan ghost gear tidak hanya mencemari wilayah perairan, tetapi juga merusak habitat serta mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar di wilayah pesisir. Oleh karena itu, Prof. Ronny mengatakan bahwa penanganan berbasis spasial, seperti sistem penandaan alat tangkap (gear marking) dan pengelolaan berbasis wilayah tangkap, menjadi langkah penting dalam memitigasi dampaknya.
“Ini memerlukan tindakan nyata, seperti penerapan sistem penandaan alat tangkap (gear marking), inovasi alat tangkap ramah lingkungan, serta penguatan kebijakan mitigasi,” tambahnya.
Di sisi kebijakan, Prof. Ronny mengatakan bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2023 telah memperkenalkan pengaturan zonasi penangkapan berbasis prinsip keberlanjutan. Meski demikian, Prof. Ronny menekankan bahwa keberhasilan kebijakan tersebut sangat bergantung pada pengawasan spasial yang ketat dan keterlibatan aktif masyarakat pesisir. Tanpa pengawasan yang adaptif terhadap dinamika wilayah tangkap dan keterlibatan aktor lokal, implementasi kebijakan zonasi rawan tidak efektif.
Secara keseluruhan, solusi terhadap krisis perikanan tangkap di Indonesia harus didasarkan pada pendekatan spasial yang terintegrasi. Solusi tersebut tidak hanya mempertimbangkan distribusi sumber daya ikan, tetapi juga persebaran aktivitas penangkapan, karakteristik ekologis wilayah, serta keadilan akses bagi komunitas nelayan.
Sumber: VOI, Bogor-Kita.com
