

Kenapa Gajah Menyeberang Jalan?
Di tengah kesunyian hutan hujan Malaysia, seekor induk gajah berdiri terpaku di pinggir jalan beraspal. Di hadapannya, tubuh anaknya yang terbujur kaku tertindih truk besar, tak lagi bernyawa. Tatapannya kosong, tetapi penuh luka.
Video kejadian ini viral di media sosial pada 11 Mei 2025, KM 80 Jalan Raya Timur-Barat, Gerik–Jeli, Perak, Malaysia, bukan karena dramatisasi, melainkan karena ia menunjukkan potret nyata konflik yang kian sering terjadi, saat hutan tak lagi ramah, dan jalan raya menjadi jalur kematian bagi satwa liar. Tragedi ini bukan hanya tentang seekor anak gajah yang tewas, tetapi tentang pertanyaan mendalam yang perlu kita jawab bersama, kenapa gajah menyeberang jalan?
Gajah yang Keliru Memilih Jalur, atau Manusia yang Keliru Membangun Lajur?
Gajah, mamalia darat terbesar di dunia, kini berada dalam situasi dilematis, dipaksa berebut ruang hidup dengan manusia yang ekspansif dan akhirnya kalah. Perburuan, penggundulan hutan, dan pembangunan infrastruktur telah mengikis ruang jelajah mereka, menjadikan konflik antara manusia dan satwa liar sebagai hal yang semakin lumrah.
Menurut data World Wildlife Fund (WWF), populasi gajah Asia telah merosot hingga 50 persen sejak awal abad ke-20. Saat ini, hanya sekitar 50.000 ekor gajah Asia yang tersisa, tersebar di tiga belas negara, termasuk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.400 ekor hidup di Pulau Sumatera, sebuah pulau yang kini lebih dikenal karena krisis ekologinya ketimbang keberagaman hayatinya.
Pulau Sumatera, yang dulunya penuh hamparan hutan tropis, kini menjadi medan pertempuran yang sunyi bagi kelangsungan hidup gajah. Data dari International Union for the Conservation of Nature (IUCN) menunjukkan bahwa 69 persen habitat gajah di Sumatera telah hilang dalam kurun waktu 25 tahun terakhir akibat deforestasi masif.
Kawasan yang dulunya menjadi jalur migrasi alami kini berubah menjadi kebun sawit, jalan raya, dan permukiman manusia. Kawanan gajah yang terbiasa berpindah tempat mengikuti sumber makanan dan air, kini tersesat dalam labirin beton dan kebun monokultur yang tak lagi mengenal jejak mereka.
Gajah Dipaksa Turun ke Jalan
Tragedi yang terjadi di Jalan Raya Timur-Barat, Perak, Malaysia, di mana seekor anak gajah tewas tertabrak truk, hanyalah salah satu potret yang sempat terekam kamera. Dalam banyak kasus lainnya, konflik seperti ini kerap luput dari perhatian publik dan media.
Sebelumnya, pada 31 Desember 2023 yang lalu, seekor gajah betina Sumatera ditemukan tewas di kawasan Seblat, Bengkulu. Wilayah itu merupakan bagian dari Hutan Produksi Terbatas yang sebelumnya merupakan habitat utama bagi kawanan gajah liar. Namun sejak 2021, kawasan tersebut telah dialihfungsikan melalui perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu (PBPH) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berbagai kasus tersebut seharusnya membuat para pemangku kebijakan meninjau kembali peta geospasial pembangunan jalan dan jalur migrasi satwa. Dalam konteks Malaysia ataupun Indonesia, pembangunan infrastruktur jalan kerap dilakukan dengan pendekatan ekonomis, bukan ekologis.
Padahal, banyak dari jalan yang dibangun memotong jalur migrasi satwa liar yang sudah eksis selama ribuan tahun. Tanpa adanya koridor penghubung atau penyeberangan satwa (wildlife crossing), hewan seperti gajah tidak memiliki pilihan selain menyeberang langsung di jalan raya, sebuah keputusan naluriah yang kerap berakhir fatal.
Gajah yang turun ke jalan dan masuk ke pemukiman bukanlah hewan buas yang menyerang tanpa sebab. Mereka mencari sumber makanan dan air karena hutan yang dulu menjadi tempat bergantung telah ditebang atau dibakar. Situasi ini juga membawa risiko tinggi bagi masyarakat lokal karena mereka juga kehilangan lahan pertanian akibat dirusak oleh kawanan gajah. Konflik pun menjadi tidak terhindarkan, dan korban jatuh di kedua sisi, baik manusia maupun satwa liar.
Gajah Menyeberang Jalan Jadi Bukti Kegagalan Tata Kelola Ekologis
Alih fungsi ini menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan tata kelola hutan kerap mengabaikan data ekologis dan geospasial yang menunjukkan pentingnya kawasan tersebut sebagai jalur migrasi gajah. Di Seblat, LSM lingkungan telah berkali-kali menyuarakan keberatan atas perizinan itu, tetapi aktivitas industri tetap berlangsung. Padahal, wilayah tersebut merupakan satu-satunya penghubung antara populasi gajah Seblat dan kelompok yang lebih kecil di bagian selatan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Konflik antara manusia dan gajah akan terus terjadi jika tidak ada intervensi serius dari pemerintah dan sektor swasta. Solusi yang bisa ditempuh tidak hanya sebatas pelestarian kawasan hutan yang tersisa, tetapi juga membangun kembali konektivitas lanskap melalui jalur migrasi satwa liar, pembangunan terowongan atau jembatan satwa, serta sistem pemantauan berbasis satelit.
Upaya ini memang membutuhkan investasi besar dan kesadaran politik yang tinggi, namun keberlangsungannya lebih menjamin daripada membiarkan konflik terus membesar. Dengan memanfaatkan analisis geospasial dan pemetaan jalur migrasi satwa secara digital, pembangunan bisa diarahkan untuk tidak menabrak ruang hidup satwa liar.
Insiden seperti di Perak atau Seblat bukanlah sekadar berita tragis yang menguras emosi, melainkan alarm keras tentang kegagalan kita menjaga keseimbangan ekosistem. Ketika gajah menyeberang jalan, mereka bukan sedang menyerbu dunia manusia, melainkan sedang tersesat di jalur yang dahulu adalah milik mereka.
Sumber: TV One News, WWF, The Guardian, Kanopi Hijau Indonesia
