

Menata Ulang Pemberangkatan Haji dengan Teknologi Geospasial di Tengah Ancaman Pemotongan Kuota 50%
Pemerintah Arab Saudi dikabarkan tengah mempertimbangkan pengurangan kuota jamaah haji asal Indonesia hingga setengahnya untuk musim haji 2026. Dengan kuota reguler dan khusus saat ini sekitar 221.000, rencana ini akan memangkas jumlah tersebut menjadi hanya 110.500. Menurut estimasi, masa tunggu haji yang sekarang rata-rata 26 tahun bisa melejit menjadi 94 tahun, dengan antrean terlama diperkirakan baru akan berangkat pada 2119.
Pemerintah Arab Saudi menyebutkan sejumlah alasan yang mendasari wacana ini. Alasan tersebut mulai dari lemahnya sistem seleksi kesehatan jemaah (istitha’ah), kasus kematian di atas pesawat, hingga buruknya manajemen akomodasi dan transportasi selama haji.
“Why do you bring people to death here?” Ungkapan ini muncul dari Pemerintah Arab Saudi saat membahas kasus jemaah meninggal di dalam pesawat sebelum tiba di Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi bahkan tegas meminta pembentukan gugus tugas bersama yang akan mengawasi proses mulai dari skrining kesehatan, akomodasi, hingga pengaturan logistik jemaah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Transisi pengelolaan haji dari Kementerian Agama ke Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) dianggap sebagai momentum untuk merombak total manajemen ibadah haji. Kepala BP Haji, Irfan Yusuf, menyebut telah meminta pembentukan task force bersama dan menawarkan sistem baru yang lebih transparan serta responsif terhadap standar Pemerintah Arab Saudi. Perundingan terus berjalan dengan harapan kuota tetap stabil jika perbaikan dapat dibuktikan.
Saatnya Teknologi Geospasial Ambil Peran
Menghadapi ancaman pemotongan kuota haji Indonesia pada 2026 mendatang, diperlukan pendekatan yang bukan sekadar administratif, tetapi juga berbasis teknologi dan data spasial. Teknologi geospasial, khususnya sistem informasi geografis (SIG), mampu menjadi instrumen strategis untuk mereformasi penyelenggaraan haji dari hulu ke hilir.
Inovasi ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi, tetapi juga menjadi bukti konkret yang dapat diajukan Indonesia dalam diplomasi kuota ke Pemerintah Arab Saudi. Berikut adalah langkah-langkah utama yang dapat diterapkan secara sistematis melalui pemanfaatan teknologi geospasial.
Pemetaan Pemeriksaan Kesehatan Awal
Langkah pertama yang krusial adalah merombak sistem istitha’ah, atau kelayakan kesehatan jemaah haji, dengan memanfaatkan teknologi SIG. Pemerintah dapat memetakan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia dan mengidentifikasi wilayah dengan akses terbatas terhadap pemeriksaan medis. Dengan peta spasial tersebut, strategi pemeriksaan kesehatan bisa diperluas ke wilayah-wilayah marginal melalui layanan keliling, seperti mobile clinic atau program skrining terjadwal berbasis wilayah.
Model ini memungkinkan skrining tidak hanya terpusat di kota besar, tetapi juga menjangkau desa-desa terpencil sehingga memperluas cakupan deteksi dini risiko kesehatan. Misalnya, wilayah-wilayah di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan sebagian Kalimantan yang selama ini terkendala akses medis juga bisa masuk dalam skema prioritas. Dengan data spasial ini, pemerintah dapat memetakan jemaah berisiko tinggi, menyaring lebih awal mereka yang tidak layak berangkat, dan sekaligus menyusun pelatihan kesehatan saat proses karantina.
Analisis Mobilitas dan Transportasi Jemaah
Selain kesehatan, isu besar dalam penyelenggaraan haji adalah manajemen mobilitas jemaah yang kompleks dan rentan terhadap kepadatan. Di sinilah, data geospasial dapat menjadi fondasi untuk menyusun sistem transportasi yang lebih efisien dan terjadwal secara dinamis. Dengan kombinasi GPS, data peta digital, dan algoritma rute, pergerakan jemaah dari asrama ke bandara, serta dari Makkah ke Arafah, Muzdalifah, dan Mina, dapat diatur secara sistematis.
Misalnya, data pergerakan tahun-tahun sebelumnya bisa dimodelkan untuk memperkirakan waktu tersibuk, potensi titik stagnasi, dan estimasi waktu tempuh berdasarkan kepadatan. Hasil analisis ini memungkinkan operator menyesuaikan waktu keberangkatan bus antarkloter, mengurangi tumpang tindih, serta menghindari kemacetan yang sering menyebabkan kelelahan, pingsan, atau kehilangan jemaah lansia di tengah padatnya arus. Di sisi lain, integrasi data ini bisa dikaitkan langsung ke dashboard otoritas Arab Saudi untuk menunjukkan kesiapan Indonesia dalam hal manajemen arus dan keselamatan jemaah.
Monitoring Real-Time Kesehatan dan Kapasitas
Terakhir, teknologi geospasial dapat diintegrasikan dengan sensor Internet of Things (IoT) dan sistem pelacak berbasis lokasi (geo-tracking) untuk monitoring kesehatan jemaah secara real-time. Sistem ini mampu memetakan kepadatan jemaah di titik-titik vital dan menyandingkannya dengan data suhu tubuh, denyut nadi, hingga lokasi keberadaan individu, terutama lansia atau jemaah dengan komorbid.
Aplikasi pelacak yang terhubung dengan dashboard pusat akan mengirimkan peringatan dini jika terjadi anomali, misalnya suhu terlalu tinggi di satu lokasi tenda, pergerakan tidak wajar, atau jemaah yang diam terlalu lama di area tertentu yang berisiko. Hal ini memungkinkan intervensi cepat oleh tim medis dan mengurangi potensi kejadian fatal. Data spasial tersebut juga dapat menjadi dokumentasi penting saat negosiasi untuk menunjukkan kemampuan Indonesia dalam menerapkan sistem kesehatan preventif dan responsif, yang sebelumnya menjadi kritik utama dari Pemerintah Arab Saudi.
Teknologi Geospasial sebagai Alat Negosiasi Kuota Haji
Teknologi geospasial, dengan seluruh kemampuannya dalam visualisasi, analisis spasial, dan integrasi data real-time, telah menjelma menjadi instrumen strategis yang dapat memperkuat posisi diplomasi Indonesia dalam menghadapi ancaman pemotongan kuota haji oleh Pemerintah Arab Saudi. Dengan menerapkan teknologi ini secara komprehensif di seluruh lini penyelenggaraan haji, mulai dari skrining kesehatan, transportasi, hingga akomodasi dan monitoring jemaah, BP Haji dapat menyusun bukti-bukti konkret mengenai perbaikan sistemik yang telah dilakukan.
Bukti berbasis data ini sangat penting karena menjawab langsung kritik Arab Saudi yang selama ini menyoroti lemahnya koordinasi teknis dan minimnya transparansi kesehatan jemaah. Lewat dashboard visual dan peta interaktif, Indonesia dapat menunjukkan kesiapan serta kapasitas manajerial yang sesuai dengan standar internasional.
Namun, agar teknologi ini berdampak strategis, BP Haji tidak bisa hanya mengandalkan konsep di atas kertas. Diperlukan penyusunan roadmap yang terukur dan realistis dalam mengintegrasikan sistem geospasial ke dalam siklus manajemen haji nasional. Dengan implementasi yang tepat, teknologi geospasial tidak hanya menjadi alat administratif, tetapi juga menjadi alat diplomasi berbasis data. Indonesia akan memiliki portofolio bukti yang dapat dibawa dalam forum bilateral dengan otoritas Arab Saudi.
Bukti-bukti ini tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan kuota haji, tetapi juga berpotensi menambah kuota dalam jangka panjang, terutama jika Indonesia dinilai sebagai model negara muslim yang mampu mengelola ibadah haji dengan teknologi modern. Dengan demikian, integrasi teknologi geospasial bukan hanya solusi krisis, melainkan juga langkah strategis jangka panjang untuk menjamin keberlanjutan dan keadilan dalam penyelenggaraan haji bagi jutaan calon jemaah Indonesia.
Sumber: PikiranRakyat, Detik
