Default Title
logo spatial highlights
Anggota BAM DPR RI Soroti Urgensi Tata Ruang dan Konflik Agraria di Indonesia

Anggota BAM DPR RI Soroti Urgensi Tata Ruang dan Konflik Agraria di Indonesia

Anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Muh Haris, menyoroti urgensi penataan ulang tata ruang serta penyelesaian konflik agraria yang melibatkan ribuan desa yang secara administratif berada di dalam kawasan hutan negara. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam focus group discussion (FGD) bertema ‘Desa Masuk Kawasan Hutan: Menata Ulang Tata Ruang dan Keadilan Agraria’ yang diselenggarakan oleh BAM DPR RI pada 22–23 Juli 2025 di Jakarta.

Haris menilai bahwa konflik agraria yang timbul akibat tumpang tindih antara kawasan hutan dan pemukiman masyarakat merupakan masalah serius. Hal ini dapat menjadi “bom waktu” bila tidak segera ditangani secara menyeluruh oleh negara.

“Ada lebih dari 20.000 desa yang masuk dalam kawasan hutan. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi menyangkut nasib jutaan rakyat, keadilan agraria, dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang turut dihadiri oleh perwakilan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Desa, ATR/BPN, Kemenakertrans, Komnas HAM, WALHI, serta sejumlah masyarakat yang terdampak langsung, ia mencontohkan persoalan agraria di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Di kawasan tersebut, ribuan warga, baik penduduk lokal maupun transmigran, terancam penggusuran pascapemberlakuan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 yang mendorong penertiban kawasan.

“Kita tidak bisa bicara penertiban semata tanpa menyelesaikan akar persoalan tata batas, kepemilikan legal seperti SHM, hingga akses pendidikan dan kesehatan yang juga ikut terdampak,” jelasnya.

Lebih lanjut, Haris juga mengangkat kasus di Desa Sukawangi, Bogor, yang keberadaannya telah tercatat sejak 1950-an namun kemudian diklaim masuk dalam kawasan hutan Hambalang Barat. “Ini ironis. Negara sendiri yang menetapkan desa, membangun sekolah, puskesmas, lalu tiba-tiba menganggap wilayah tersebut hutan negara. Ketidakselarasan antarinstansi pusat dan daerah inilah yang memperkeruh konflik,” tegasnya.

Sebagai wakil rakyat di DPR, Haris menekankan pentingnya fungsi pengawasan legislatif untuk memastikan negara tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warganya. Ia mendorong agar hasil dari FGD ini tidak hanya berhenti pada rekomendasi, tetapi dilanjutkan menjadi kebijakan yang adil dan dapat dilaksanakan di lapangan.

“Negara hukum harus hadir dengan melindungi rakyatnya, bukan justru membuat rakyat hidup dalam ketidakpastian,” tutup Haris.

Penyelesaian Tata Ruang Lewat Fungsi Legislatif

Fungsi pengawasan legislatif merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi dan memiliki peran strategis dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Konflik agraria umumnya muncul akibat tumpang tindih kebijakan, ketidaksesuaian regulasi antarlembaga, serta lemahnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah. Dalam konteks ini, fungsi pengawasan legislatif dijalankan oleh DPR.

Legislatif memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah, termasuk yang berkaitan dengan kehutanan, pertanahan, dan pembangunan desa. Melalui fungsi ini, DPR dapat memastikan bahwa kebijakan seperti Perpres, PP, atau SK Menteri tidak dijalankan secara sewenang-wenang atau bertentangan dengan prinsip keadilan agraria. DPR dapat memanggil kementerian terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau ATR/BPN, untuk meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kebijakan yang menimbulkan konflik.

Jika terdapat regulasi yang menyebabkan ketidakpastian hukum, seperti penetapan kawasan hutan yang tidak memperhitungkan keberadaan desa-desa adat atau transmigrasi, DPR dapat mendorong evaluasi atau revisi terhadap peraturan tersebut. Fungsi legislasi dan pengawasan saling berkaitan. Pengawasan yang tajam dapat menjadi landasan bagi pembentukan atau perubahan regulasi yang lebih adil dan akomodatif terhadap kepentingan rakyat atas tanah.

Baca juga: Perbatasan yang Samar: Konflik Agraria dan Peran Sistem Informasi Geografis

Sumber: Fraksi PKS, Hukumonline.com

+
+