

Perbatasan yang Samar: Konflik Agraria dan Peran Sistem Informasi Geografis
Konflik agraria masih menjadi isu yang terus berulang di berbagai wilayah Indonesia. Dengan wilayah yang luas dan keragaman bentuk penggunaan lahan, permasalahan perbatasan tanah seringkali menjadi pemicu utama konflik antar masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 terjadi setidaknya 295 konflik agraria, mencakup wilayah seluas 1,1 juta hektare dan berdampak pada 67.436 keluarga di 349 desa di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa kronis dan sistemiknya permasalahan agraria, terutama yang berakar pada penetapan batas wilayah yang tidak jelas atau tumpang tindih.
Penyebab Konflik Agraria: Dari Perkebunan hingga Infrastruktur
Konflik agraria di Indonesia biasanya terjadi karena beberapa faktor yang saling berkaitan. Pertama, sektor perkebunan, terutama sawit, menjadi penyumbang terbesar konflik dengan 111 kasus, di mana 67 persennya terjadi akibat perluasan perkebunan sawit yang bersinggungan dengan lahan masyarakat. Kedua, pembangunan infrastruktur juga menimbulkan konflik, dengan 79 kasus sepanjang 2024, mencakup hampir 290 ribu hektare tanah dan berdampak pada lebih dari 20 ribu keluarga.
Selain itu, sektor pertambangan dan kehutanan turut menyumbang konflik, terutama di wilayah-wilayah kaya sumber daya alam yang berbatasan dengan lahan adat dan kawasan permukiman. Umumnya, akar masalah dari berbagai konflik ini adalah ketimpangan penguasaan tanah, tumpang tindih klaim kepemilikan, dan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal.
Pemanfaatan Teknologi Geospasial: Mengurai Misteri dan Menegakkan Fakta
Awal tahun 2025 diwarnai oleh sebuah konflik agraria yang terjadi di perairan pesisir Tangerang. Masyarakat dikejutkan dengan munculnya struktur pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer yang membentang melewati 16 desa di enam kecamatan.
Pagar tersebut diduga dibangun tanpa izin resmi dan menimbulkan keresahan karena membatasi akses nelayan tradisional terhadap laut. Kasus ini mencuat karena menunjukkan bentuk baru konflik agraria yang terjadi di wilayah pesisir dan laut, bukan hanya di daratan. Meskipun terlihat misterius, konflik ini justru menjadi titik balik dalam membuktikan peran teknologi dalam penyelesaian konflik lahan.
Dalam kasus pagar laut Tangerang, pemanfaatan teknologi geospasial menjadi alat bukti yang sangat penting. Dosen Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana, Ph.D., memanfaatkan citra satelit dan sistem pemetaan geospasial untuk menganalisis keberadaan pagar tersebut.
Dari analisisnya, diketahui bahwa pagar telah mulai dibangun sejak Juni 2024, dan terus mengalami pertumbuhan sekitar tujuh meter setiap bulan hingga Oktober 2024. Lebih jauh lagi, melalui rekaman citra satelit sejak tahun 1976, terbukti bahwa wilayah tempat pagar dibangun tidak pernah berupa daratan sebagaimana diklaim oleh sebagian pihak.
Fakta ini membantah adanya klaim perubahan lahan akibat abrasi, sekaligus membuktikan bahwa pagar dibangun secara sengaja di wilayah laut bebas. Pemanfaatan teknologi geospasial dalam kasus ini menunjukkan kemampuannya untuk mengungkap realitas objektif atas ruang dan waktu secara ilmiah dan tak terbantahkan.
Mampukah Teknologi Geospasial Menyelesaikan Konflik Agraria?
Kasus pagar laut di Tangerang menunjukkan bahwa teknologi geospasial bukan hanya berguna untuk perencanaan tata ruang, tapi juga untuk resolusi konflik agraria. Dengan peta digital, data spasial, dan citra satelit historis, berbagai klaim sepihak atas lahan dapat diuji dan diverifikasi secara ilmiah.
Oleh karena itu, pendekatan ini memiliki potensi besar untuk diterapkan dalam penyelesaian konflik agraria lainnya, baik di daratan maupun wilayah pesisir. Namun, teknologi ini harus diimbangi dengan kebijakan yang inklusif dan sistem hukum yang responsif terhadap hasil analisis geospasial. Tanpa itu, potensi teknologi ini hanya akan menjadi alat dokumentasi, bukan penyelesaian yang konkret.
Peran Sistem Informasi Geospasial (SIG) dalam Pencegahan Konflik
Sistem Informasi Geospasial (SIG) memungkinkan visualisasi dan analisis data spasial secara menyeluruh. Dalam konteks agraria, SIG dapat digunakan untuk membangun basis data pertanahan nasional yang transparan dan dapat diakses oleh publik. Dengan adanya SIG, informasi mengenai kepemilikan, status hukum, dan penggunaan lahan bisa dikelola secara digital dan akurat.
Selain itu, SIG juga dapat digunakan dalam pemantauan perubahan penggunaan lahan dan perencanaan pembangunan agar tidak tumpang tindih dengan kawasan masyarakat adat atau lahan pertanian produktif. Dengan demikian, SIG berperan penting dalam mencegah konflik di masa depan melalui penyediaan data yang faktual dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menuju Keadilan Agraria melalui Inovasi Teknologi
Konflik agraria di Indonesia mencerminkan persoalan mendalam terkait tata kelola ruang, kepemilikan, dan distribusi tanah. Garis perbatasan yang samar, ketimpangan akses, serta lemahnya sistem informasi agraria menjadi akar dari berbagai konflik yang terus berulang. Namun, kasus pagar laut di Tangerang membuktikan bahwa teknologi geospasial dan SIG mampu memberikan solusi faktual yang dapat menjadi dasar penyelesaian sengketa.
Jika diimplementasikan secara menyeluruh dan didukung oleh sistem hukum yang adil, teknologi geospasial dapat menjadi senjata ampuh untuk mewujudkan keadilan agraria di Indonesia yang selama ini masih menjadi cita-cita.
Sumber: Ekuatorial, Amnesia.id, TEMPO, INews