Default Title
logo spatial highlights
Teknologi Geospasial Bantu Ubah Regulasi Industri Komoditas Ekspor

Teknologi Geospasial Bantu Ubah Regulasi Industri Komoditas Ekspor

Industri komoditas ekspor dunia kini tengah menghadapi perubahan besar. Pada Desember 2023, Uni Eropa secara resmi menerapkan aturan ketat yang dikenal dengan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Aturan ini menarget tujuh komoditas utama yang banyak diekspor negara tropis seperti Indonesia, yaitu kelapa sawit, kopi, kakao, kedelai, kayu, karet, dan sapi. EUDR mengharuskan semua produk yang masuk ke Uni Eropa memiliki bukti kuat bahwa bahan bakunya tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi (penggundulan hutan) setelah Desember 2020.

Bagi perusahaan yang melanggar, sanksinya tidak main-main. Mereka bisa dikenakan denda hingga 4% dari pendapatan tahunannya di Eropa. Namun yang lebih penting, aturan ini mengubah cara pandang pelaku industri. Ekspor bukan lagi soal berapa banyak yang bisa dikirim, melainkan seberapa bertanggung jawab dan transparan proses produksinya. Artinya, perusahaan tidak hanya perlu mencatat asal bahan baku, tetapi juga membuktikan dengan data lokasi yang jelas dan bisa diverifikasi.

Era Baru Ekspor Lewat Teknologi Geospasial

Salah satu teknologi yang kini berperan penting dalam memenuhi syarat EUDR adalah teknologi geospasial. Teknologi ini membantu perusahaan menunjukkan koordinat pasti dari lahan tempat komoditas dihasilkan serta kondisi lahan tersebut sebelum digunakan. Platform, seperti Google Earth Engine, memungkinkan perusahaan melihat sejarah penggunaan lahan dari citra satelit sehingga bisa diketahui apakah suatu lahan sebelumnya adalah hutan lindung atau bukan.

Menurut Alicia Sullivan dari Google Earth Engine, sistem ini memungkinkan ribuan titik lahan diperiksa secara otomatis dan cepat. Data dari Forest Data Partnership juga bisa digunakan untuk mencocokkan lokasi lahan dengan peta komoditas dan peta tutupan hutan. Dengan cara ini, perusahaan bisa mendeteksi apakah ada risiko deforestasi pada produk mereka sebelum masuk ke pasar Uni Eropa.

Kebijakan ini secara tidak langsung menjadi alat penting dalam menjaga hutan. Ketika semua pihak diwajibkan transparan, hutan-hutan yang sebelumnya rentan dibuka untuk kebun sawit atau peternakan kini bisa lebih terlindungi. Pemerintah dan organisasi lingkungan juga bisa melakukan audit dengan lebih mudah. Mereka tinggal mencocokkan data geospasial dengan kondisi lapangan untuk menilai apakah perusahaan memang mematuhi aturan.

Manfaat lain dari sistem ini adalah meningkatnya kepercayaan konsumen. Banyak konsumen di Eropa yang kini hanya mau membeli produk yang jelas asal-usulnya dan tidak merusak hutan. Dengan teknologi geospasial, perusahaan bisa membuktikan hal itu dan menjaga reputasi mereka di pasar internasional.

Tantangan di Tengah Harapan

Namun, tentu saja penerapan sistem ini tidak mudah. Banyak petani kecil di negara berkembang belum terbiasa dengan teknologi ini. Mereka mungkin tidak tahu bagaimana menentukan koordinat lahannya, apalagi mengakses data satelit. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan organisasi non-profit untuk memberikan pelatihan dan dukungan teknis kepada petani. Beberapa perusahaan besar bahkan sudah mulai menyediakan aplikasi berbasis ponsel agar petani bisa ikut dalam sistem pelacakan ini secara sederhana.

Di Indonesia sendiri, beberapa startup, seperti MAPID, mulai menyediakan solusi geospasial yang lebih terjangkau. Dengan peta digital dan sistem pelacakan lahan, mereka dapat membantu petani dan pelaku industri kecil untuk menyesuaikan diri dengan regulasi internasional. Hal ini membuka peluang baru bagi Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam ekspor komoditas yang berkelanjutan dan berbasis data.

Pada akhirnya, teknologi geospasial bukan hanya membantu memenuhi aturan baru dari luar negeri, melainkan juga menjadi alat untuk menjaga hutan Indonesia dari ancaman konversi lahan. Dengan data yang akurat dan transparan, semua pihak bisa bekerja sama untuk memastikan bahwa ekspor kita tidak merusak lingkungan. Inilah saatnya industri komoditas kita bertransformasi dari sekadar produksi massal menjadi produksi yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.

Sumber: Google Cloud

+
+