Default Title
logo spatial highlights
Gelembung Plasma di Ionosfer Jadi Ancaman Tersembunyi bagi GPS dan Satelit

Gelembung Plasma di Ionosfer Jadi Ancaman Tersembunyi bagi GPS dan Satelit

Gangguan pada layanan GPS atau komunikasi satelit ternyata tidak selalu disebabkan oleh kerusakan perangkat keras, melainkan juga bisa dipicu oleh fenomena di lapisan ionosfer bumi. Dalam sebuah sharing session di Bandung, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengangkat topik ini melalui diskusi bertajuk “Decoding Mechanisms Behind Equatorial Ionospheric Irregularities During Geomagnetic Storms”.

Takuya Sori dari Kyoto University yang saat ini menjadi visiting researcher di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN hadir sebagai pembicara. Ia memaparkan fenomena Equatorial Plasma Bubbles (EPBs) atau gelembung plasma di ionosfer bagian bawah, sekitar 150 kilometer di atas permukaan bumi.

Menurutnya, fenomena ini memiliki dampak langsung terhadap propagasi gelombang radio, komunikasi satelit, hingga navigasi GPS yang digunakan sehari-hari. “EPB terbentuk mengikuti garis medan magnet di belahan bumi utara dan selatan,” jelas Sori, dikutip dari medcom.id.

Ia menerangkan bahwa gelembung plasma muncul melalui mekanisme Rayleigh–Taylor instability, yaitu ketika daerah plasma dengan kerapatan rendah terdorong naik akibat interaksi medan listrik timur dengan medan geomagnetik bumi. Pertumbuhan gelembung plasma ini erat kaitannya dengan pre-reversal enhancement (PRE), yaitu peningkatan singkat medan listrik timur yang biasanya terjadi menjelang matahari terbenam. “Ketika medan listrik timur semakin besar, laju pertumbuhan EPBs juga semakin cepat,” ungkapnya.

Image 1

Sori menambahkan, aktivitas matahari seperti angin surya maupun lontaran massa korona (CME) dapat memperburuk kondisi dengan memicu badai geomagnetik yang langsung memengaruhi ionosfer. Dampaknya bisa terasa luas, mulai dari gangguan komunikasi frekuensi tinggi hingga penurunan akurasi sistem navigasi satelit dan GPS.

Fenomena ini bukan sekadar teori. Pada Maret 2022, badai geomagnetik yang dipicu lontaran massa korona menyebabkan sejumlah satelit komunikasi di Amerika Utara melaporkan gangguan sinyal. Bahkan, penerbangan transatlantik dilaporkan mengalami penurunan akurasi navigasi sehingga pilot harus mengandalkan metode manual dan rute alternatif. Kasus lain terjadi pada September 2017, ketika badai matahari kuat mengganggu sinyal GPS di Alaska, yang berdampak pada operasi nelayan dan transportasi laut.

Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Albertus Sulaiman, menekankan pentingnya penelitian ini mengingat ketergantungan masyarakat terhadap teknologi berbasis satelit makin besar. “Kehadiran Takuya Sori membuka peluang pertukaran pengetahuan, pengembangan teknologi pengamatan ionosfer, serta pelatihan generasi peneliti muda di bidang atmosfer dan antariksa,” ujarnya.

Albertus menegaskan bahwa riset mengenai ketidakseragaman ionosfer memiliki nilai strategis karena berkaitan langsung dengan keamanan dan keandalan teknologi komunikasi serta navigasi. BRIN pun berkomitmen memperkuat kolaborasi riset internasional agar Indonesia memiliki sistem mitigasi yang lebih akurat untuk menghadapi dampak aktivitas matahari dan badai geomagnetik di masa depan.

+
+