

BIG Perkuat Kolaborasi Regional untuk Pengelolaan Laut Tiongkok Selatan
Di tengah dinamika geopolitik kawasan yang sarat kepentingan, pengelolaan Laut Tiongkok Selatan tidak hanya menyoal klaim wilayah, tetapi juga menyangkut upaya menjaga ekosistem pesisir dan laut yang rentan terhadap tekanan lingkungan. Indonesia, melalui Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri dan Pusat Studi Asia Tenggara (PSAT), kembali memainkan perannya sebagai fasilitator penting dengan menggelar The 34th Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea pada 17–18 September 2025 di Bali.
Lokakarya ini dihadiri oleh 67 peserta dari tujuh negara, yakni Tiongkok, Indonesia, Myanmar, Filipina, Chinese Taipei, Thailand, dan Vietnam. Selama lebih dari tiga dekade, forum ini dipandang sebagai platform strategis untuk mereduksi potensi konflik, menjaga komunikasi, serta memperkuat kerja sama praktis di kawasan Laut Tiongkok Selatan.
Plt. Kepala BSKLN, Duta Besar Abdul Kadir Jailani, menegaskan bahwa di Laut Tiongkok Selatan perdamaian dibudidayakan, bukan dideklarasikan. Menurutnya, esensi dari kontestasi kawasan ini bukan sekadar soal klaim teritorial, melainkan juga kemampuan membangun kepercayaan agar konflik dapat dicegah sejak dini. Indonesia meneguhkan komitmennya sebagai pemimpin yang berprinsip, netral, dan konsisten mengedepankan perdamaian regional.
Kepala BIG, Prof. Muh Aris Marfai, secara resmi membuka The 20th Working Group Meeting on the Marine and Coastal Environment in the South China Sea. Kelompok kerja ini berfokus pada kolaborasi, pertukaran pengetahuan, serta solusi kolektif dalam pengelolaan zona pesisir. Sementara itu, Direktur Sistem Referensi Geospasial, Moh. Fifik Syafiudin, melaporkan kesinambungan agenda melalui The 19th Working Group Meeting, yang menunjukkan pentingnya integrasi data spasial dalam perencanaan kawasan pesisir.
Para delegasi negara peserta turut menyampaikan tantangan bersama, seperti kerusakan ekosistem pesisir, menurunnya keanekaragaman hayati, hingga dampak kenaikan muka air laut dan penurunan tanah pesisir akibat perubahan iklim. Teknologi geospasial dipandang sebagai instrumen penting dalam memantau dinamika ekosistem, sekaligus sebagai dasar bagi strategi adaptasi dan mitigasi berbasis bukti.
Forum ini akhirnya menyepakati bahwa Kelompok Kerja ke-21 akan difokuskan pada perencanaan tata ruang pesisir dengan orientasi pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan. Dengan semangat kolaboratif, lokakarya ke-34 ini diharapkan tetap menjadi wadah penting untuk memperkuat sinergi, berbagi wawasan, dan memajukan upaya kolektif dalam menjaga keberlanjutan serta stabilitas kawasan Laut Tiongkok Selatan.
