
.png)
Dampak Efisiensi Anggaran terhadap Upaya Mitigasi Bencana
Pada 2025, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan efisiensi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang turut berdampak pada berbagai instansi pemerintah, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Meskipun kebijakan efisiensi ini bertujuan untuk mengefektifkan penggunaan anggaran negara dengan memangkas belanja yang dinilai kurang prioritas, realitas di lapangan menunjukkan bahwa beberapa fungsi vital BMKG dalam mitigasi bencana turut terdampak secara signifikan.
Salah satu dampak paling nyata dari efisiensi anggaran ini adalah pada sektor pemeliharaan peralatan operasional utama atau Alat Operasional Utama (Aloptama) milik BMKG. Dengan anggaran yang terbatas, kemampuan BMKG dalam merawat dan menjaga keandalan alat-alat pemantau cuaca, iklim, kualitas udara, hingga sensor gempa bumi dan tsunami menurun drastis, bahkan mencapai pengurangan hingga 71%. Hal ini menyebabkan potensi penurunan tingkat akurasi informasi yang diberikan kepada masyarakat, dari sebelumnya 90% menjadi hanya sekitar 60%.
Selain itu, waktu respons terhadap kejadian bencana juga menjadi lebih lambat. Salah satu contoh krusial adalah penyampaian peringatan dini tsunami. Dalam kondisi normal, BMKG mampu memberikan peringatan dalam waktu kurang dari 3 menit pascakejadian gempa. Namun, dengan keterbatasan akibat pemangkasan anggaran, durasi ini dapat meningkat menjadi lebih dari 5 menit. Tambahan waktu ini sangat krusial dan bisa berdampak besar terhadap keselamatan masyarakat, khususnya di wilayah pesisir yang rawan tsunami.
Dampak lain yang tak kalah penting adalah berkurangnya jangkauan penyebaran informasi ke masyarakat. BMKG mencatat bahwa kemampuan untuk menyampaikan peringatan dini bencana, seperti gempa bumi dan tsunami, ke seluruh wilayah Indonesia menurun hingga 70%. Dengan kondisi geografis Indonesia yang luas dan terdiri atas ribuan pulau, keterbatasan ini sangat membahayakan karena masyarakat di wilayah terpencil menjadi semakin rentan terhadap bencana tanpa informasi yang cukup.
Tidak hanya itu, rencana modernisasi sistem dan alat deteksi BMKG juga harus ditunda atau bahkan dihentikan. Modernisasi ini sebelumnya dirancang untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi dalam memantau kondisi atmosfer dan geofisika, termasuk untuk mendukung keselamatan transportasi udara dan laut. Dengan anggaran yang terbatas, risiko terhadap keselamatan sektor-sektor strategis tersebut ikut meningkat.
Namun, di tengah keterbatasan ini, BMKG tetap menyatakan komitmennya untuk menjaga keberlangsungan layanan informasi cuaca, iklim, dan kebencanaan secara maksimal. Layanan 24 jam tetap dijalankan demi memastikan masyarakat tetap mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menghadapi potensi bencana. Selain itu, BMKG terus berupaya memaksimalkan sumber daya yang tersedia dan melakukan efisiensi internal agar layanan publik tidak terganggu secara signifikan.
Kebijakan efisiensi anggaran memang perlu dilakukan dalam rangka menjaga kesehatan fiskal negara. Namun, dalam konteks lembaga seperti BMKG yang berperan langsung dalam keselamatan jiwa dan mitigasi bencana, efisiensi harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menurunkan kemampuan inti yang krusial. Mitigasi bencana adalah investasi jangka panjang yang tidak bisa ditawar sehingga perlu dukungan anggaran yang memadai agar fungsi peringatan dini tetap berjalan optimal untuk melindungi masyarakat Indonesia dari ancaman bencana alam.
Sumber: BMKG, Tempo, Pratama Institute, Antara News, Kompas
