

Selesai Polemik 4 Pulau di Aceh, Kini Muncul Persoalan 13 Pulau di Trenggalek
Ketika publik Indonesia mulai bernapas lega menyusul berakhirnya polemik status empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, yang ditutup dengan intervensi langsung dari Presiden Prabowo Subianto, polemik serupa justru kembali muncul, kali ini di selatan Pulau Jawa. Pemerintah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur memprotes keputusan administratif Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan 13 pulau kecil sebagai bagian dari Kabupaten Tulungagung.
Ironisnya, data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Trenggalek dan RTRW Provinsi Jawa Timur jelas mencantumkan pulau-pulau tersebut berada dalam wilayah Trenggalek. Akan tetapi, SK Kemendagri justru menyatakan sebaliknya.
Sengketa ini berawal dari Keputusan Mendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, yang mengalihkan 13 pulau dari Trenggalek ke Tulungagung. Penetapan ini diperkuat kembali dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang mencantumkan kode wilayah administratif untuk setiap pulau.
Padahal, dalam RTRW Kabupaten Trenggalek dan juga dalam dokumen RTRW Provinsi Jawa Timur, ke-13 pulau itu, seperti Pulau Tamengan, Pulau Karangpegat, hingga Pulau Solimo, masih berada di wilayah pesisir Trenggalek. Hal ini memunculkan pertanyaan serius, data mana yang lebih akurat, apakah RTRW dari pemerintah daerah, atau SK administratif dari pusat?
Pemkab Trenggalek melalui Sekretaris Daerah, Edy Supriyanto, menegaskan bahwa pihaknya telah beberapa kali membahas masalah ini bersama Pemkab Tulungagung dan Pemprov Jatim. Namun, belum ada titik temu. Pemkab Trenggalek bahkan menyatakan akan kembali bersurat ke Kemendagri untuk meminta kajian ulang atas penetapan wilayah tersebut.
"Karena sudah ditetapkan oleh Kepmendagri masih masuk wilayah Tulungagung, maka kami akan bersurat lagi, agar dilakukan kajian ulang," tegas Edy Supriyanto. DPRD Trenggalek berkeyakinan atas kepemilikan pulau-pulau itu. Sebagai upaya perlindungan, Pemerintah Trenggalek tetap memasukkan 13 pulau itu dalam RTRW.
"Kami juga memasukkan 13 pulau itu dalam RTRW karena sudah selaras dengan RTRW Provinsi Jatim," ujar Ketua DPRD Trenggalek, Doding Rahmadi.
Apakah Keputusan Mendagri akan Memunculkan Konflik-Konflik Serupa?
Konflik 4 pulau di Aceh-Sumatra Utara dan 13 pulau di Trenggalek tersebut sama-sama bermula pada Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 terkait Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau Menteri Dalam Negeri. Keputusan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memperbarui data wilayah administratif secara nasional, termasuk pemberian dan pemutakhiran kode wilayah serta penetapan status pulau-pulau di seluruh Indonesia. Namun, ironisnya, kebijakan ini justru memunculkan konflik baru di Aceh serta Trenggalek.
Tanpa dasar peta geospasial resmi dan verifikasi lapangan yang transparan, keputusan semacam ini rentan dipertanyakan. Misalnya, apakah dalam proses penetapan tersebut pemerintah pusat telah mengintegrasikan data RTRW dari daerah dengan basis data spasial milik Badan Informasi Geospasial (BIG) secara sistematis? Pertanyaan lain yang mengemuka adalah seberapa valid metodologi pemutakhiran kode wilayah tersebut, terutama jika menyangkut wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang kerap rawan sengketa.
Kekhawatiran serupa berpotensi terjadi di banyak daerah lain, seperti Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Utara, yang memiliki puluhan hingga ratusan pulau kecil tanpa penduduk tetap dan belum memiliki penetapan administratif yang kuat. Dalam konteks ini, pendekatan administratif yang tidak sinkron dengan pendekatan geospasial hanya akan memperluas ruang konflik horizontal antardaerah dan memperlemah kepercayaan terhadap otoritas pusat.
Meminimalkan Konflik dengan Sinkronisasi Data Lintas Sektor
Solusi yang dapat ditawarkan untuk menghindari polemik serupa ke depan adalah membangun sistem sinkronisasi nasional berbasis geospasial yang melibatkan lintas sektor, mulai dari Kemendagri, BIG, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga pemerintah daerah. Perlu dibangun suatu sistem yang mampu melakukan verifikasi spasial terhadap keberadaan, luas, serta batas-batas pulau secara akurat dan mutakhir. Sistem ini harus terintegrasi ke dalam Sistem Informasi Geografis Nasional (SIGNAS), yang tidak hanya digunakan secara internal pemerintah, tetapi juga mendukung keterbukaan data kepada publik untuk menghindari tumpang tindih informasi.
Lebih jauh, proses pengambilan kebijakan administratif yang berdampak pada batas wilayah harus melibatkan validasi dari berbagai pihak, termasuk para pemangku kepentingan di tingkat daerah, akademisi, dan praktisi geospasial. Mekanisme multi-stakeholder spatial validation ini penting sebagai bagian dari implementasi Kebijakan Satu Peta yang selama ini digaungkan, tetapi belum sepenuhnya terwujud dalam praktik birokrasi lintas kementerian.
Polemik 13 pulau di Trenggalek merupakan cerminan dari persoalan struktural dalam tata kelola ruang dan wilayah Indonesia, yakni ketidaksinkronan antara keputusan administratif dan data geospasial. Selama Indonesia belum mampu menyatukan pendekatan hukum dan spasial dalam satu peta acuan tunggal yang sah dan terintegrasi secara nasional, potensi konflik wilayah akan terus berulang dari barat ke timur, dari Aceh hingga Papua, dari daratan hingga pulau-pulau terpencil.
