Default Title
logo spatial highlights
Wacana Provinsi Baru Flores dan Aspek Spasialnya

Wacana Provinsi Baru Flores dan Aspek Spasialnya

Wacana pemekaran Pulau Flores sebagai provinsi baru di luar Nusa Tenggara Timur (NTT) makin menguat, bukan hanya sebagai isu politik, melainkan juga sebagai persoalan spasial yang menyangkut batas wilayah, distribusi penduduk, serta tata kelola sumber daya. Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemekaran provinsi menuntut kejelasan batas kewilayahan dan kapasitas administratif, yang keduanya secara spasial telah dimiliki Flores.

Berdasarkan laporan Oke Flores, saat ini, Flores terdiri atas 9 kabupaten, melampaui syarat minimal 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi. Jika rencana pemekaran Kota Ende dan Maumere terealisasi, jumlah wilayah administratif akan meningkat menjadi 11, yang mempertegas kelayakan spasial dan administratif. Secara geografis, Flores memiliki batas wilayah yang tegas: di barat berbatasan dengan Pulau Sumbawa, di timur dengan Kepulauan Alor, di utara dengan Laut Flores, dan di selatan dengan Laut Sawu.

Dari sisi luasan, Flores mencakup 16.774,15 km², setara dengan 36,1 persen wilayah NTT. Jika berdiri sendiri, Flores akan menjadi provinsi ke-30 terbesar di Indonesia, bahkan lebih luas dibandingkan Bangka Belitung atau Gorontalo. Aspek spasial ini penting karena ukuran wilayah menentukan kebutuhan infrastruktur, distribusi layanan publik, dan strategi pengelolaan ruang.

Secara demografis, proyeksi penduduk Flores pada 2025 mencapai 2,34 juta jiwa, atau 40,78 persen populasi NTT. Kepadatan mencapai 139 jiwa/km² dengan pusat konsentrasi di Maumere, Ende, dan Ruteng. Pola penyebaran penduduk ini menunjukkan bahwa pemekaran dapat memberi ruang bagi perencanaan tata kota, transportasi, dan pelayanan publik yang lebih terfokus.

Konektivitas spasial Flores juga terbilang kuat. Pulau ini memiliki 5 pelabuhan penumpang, 6 pelabuhan logistik, serta 6 bandara domestik dan 1 bandara internasional di Labuan Bajo. Infrastruktur transportasi ini memungkinkan pergerakan manusia dan barang yang relatif lancar antarwilayah, sekaligus membuka peluang pengembangan ekonomi berbasis pariwisata, perikanan, dan pertanian.

Namun, dari sisi ekonomi, Flores masih menghadapi tantangan. PDRB tahun 2024 diperkirakan Rp45,47 triliun dengan PDRB per kapita Rp19,41 juta, sekaligus menjadi salah satu yang terendah di Indonesia. Kesenjangan antara potensi spasial dan capaian ekonomi inilah yang menjadikan pemekaran sebagai peluang. Status provinsi baru diharapkan mendorong distribusi anggaran, perencanaan pembangunan, serta pengelolaan sumber daya yang lebih merata dan sesuai dengan karakter geografis pulau.

Bagi NTT, pemekaran berarti restrukturisasi spasial dalam skala besar. Kehilangan lebih dari sepertiga wilayah menuntut reposisi Kupang sebagai pusat administrasi dan redistribusi sumber daya antarpulau. Sementara bagi Flores, pemekaran membuka jalan menuju otonomi spasial yang lebih mandiri, dengan prioritas pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Dalam konteks kepulauan, NTT memang menghadapi tantangan klasik. Masalah seperti keterpisahan geografis membuat akses ke pusat pemerintahan di Kupang tidak selalu mudah. Pemekaran Flores dipandang sebagai langkah strategis untuk mengatasi ketimpangan spasial, memperluas akses layanan publik, dan memastikan pembangunan tidak lagi terpusat hanya pada satu wilayah.

+
+