

Respons Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Tito Karnavian Gandeng BIG Revisi Kepmendagri
Arahan Presiden Prabowo Subianto terkait polemik status empat pulau kecil di wilayah perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara segera ditindaklanjuti oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Keempat pulau tersebut, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, menjadi sorotan publik setelah Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 secara administratif mencatatnya sebagai bagian dari Sumatera Utara. Padahal, secara historis dan faktual, keempatnya selama ini dikelola oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Presiden meminta penyelesaian dilakukan secara konstitusional, damai, dan menjunjung tinggi persatuan bangsa. Hal ini menjadi sebuah sinyal bahwa pendekatan teknokratis dan administratif semata tak cukup tanpa legitimasi politik dan sosial yang kuat.
Untuk menindaklanjuti arahan itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memastikan akan segera merevisi kepmendagri tersebut. Tito menegaskan bahwa kesepakatan antara Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution pada pertengahan Juni 2025 telah menghasilkan keputusan bersama bahwa keempat pulau masuk dalam wilayah Aceh.
Kesepakatan itu disahkan dalam pertemuan resmi yang turut disaksikan oleh Tito sendiri dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Tito menyebut kesepakatan ini lebih kuat daripada kesepahaman tahun 1992 karena kini diaktakan secara formal. Lebih lanjut, Tito memerintahkan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk memperbarui data kepulauan nasional, khususnya dalam Gazeter Republik Indonesia, dengan mencantumkan keempat pulau sebagai bagian dari Aceh. Dokumen baru ini, menurut Tito, akan menjadi dasar yang kuat baik secara hukum, administratif, maupun geopolitik untuk mengamankan batas wilayah.
Dalam upaya memperkuat legitimasi internasional, Tito menyatakan bahwa hasil revisi data ini juga akan dikirimkan kepada United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNCSGN). Hal ini bertujuan agar nama-nama dan status pulau Indonesia terekam sah dalam sistem internasional yang diakui PBB.
Permasalahan ini bermula dari pemutakhiran data administratif melalui Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 terkait Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau Menteri Dalam Negeri, yang pada dasarnya bertujuan untuk memperbarui kode wilayah serta status pulau-pulau di seluruh Indonesia. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan karena tak disertai dengan verifikasi lapangan yang transparan dan basis data geospasial resmi yang mutakhir.
Misalnya, input data koordinat pada dokumen atlas Aceh tahun 2009 diduga salah sehingga keempat pulau terekam sebagai bagian dari Sumut. Padahal, sejak pemekaran Aceh tahun 1956 dan pada kesepakatan perbatasan tahun 1992, keempat pulau itu berada di bawah administrasi Aceh Singkil. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi antara data spasial dan kebijakan administratif belum sepenuhnya sinkron.
Revisi Kepmendagri dan pelibatan BIG adalah langkah strategis yang penting dalam memastikan bahwa kebijakan administratif sejalan dengan fakta geospasial. Penyelesaian konflik empat pulau Aceh–Sumut menunjukkan bahwa harmonisasi antara kebijakan publik, data spasial, dan legitimasi hukum bisa dicapai jika semua pemangku kepentingan bekerja secara transparan dan kolaboratif.
Ke depan, pendekatan berbasis geospasial harus menjadi standar dalam penataan wilayah Indonesia, terutama di daerah-daerah pesisir dan kepulauan yang rentan konflik. Data yang akurat, sistem yang terintegrasi, dan mekanisme partisipatif adalah fondasi untuk mencegah sengketa wilayah sekaligus memperkuat kedaulatan nasional di era digital.
Sumber: RMOL.ID
