Default Title
logo spatial highlights
Kurangnya Surveyor Tersertifikasi Jadi Tantangan Utama Perkembangan Teknologi Geospasial di Indonesia

Kurangnya Surveyor Tersertifikasi Jadi Tantangan Utama Perkembangan Teknologi Geospasial di Indonesia

Dalam era digital yang makin berkembang, teknologi geospasial memainkan peran sentral dalam berbagai sektor, mulai dari perencanaan tata ruang, pembangunan infrastruktur, mitigasi bencana, hingga pertanian presisi. Namun, kemajuan ini tidak diiringi dengan kesiapan sumber daya manusia yang memadai.

Ketua Umum Ikatan Surveyor Indonesia (ISI), Muchammad Masykur, menegaskan hal ini dalam Seminar Nasional Mercator Genius 2025 bertajuk “Geospatial Vision, Pioneering Uncharted Horizons” di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menyatakan bahwa salah satu hambatan utama dalam perkembangan teknologi geospasial di Indonesia adalah kurangnya jumlah surveyor yang tersertifikasi secara kompetensi, etika profesi, dan kepatuhan terhadap regulasi. Tantangan ini menjadi makin nyata seiring meningkatnya kebutuhan akan data spasial yang akurat, real-time, dan berstandar internasional.

Masalah kurangnya tenaga surveyor tersertifikasi ini diperparah oleh ketimpangan penguasaan teknologi dan distribusi SDM. Berdasarkan data dari Ikatan Surveyor Indonesia, jumlah surveyor bersertifikasi memang meningkat dari 386 pada tahun 2017 menjadi 882 pada 2018. Namun, jumlah ini belum cukup untuk mengimbangi kebutuhan di lapangan yang terus tumbuh, terutama pada proyek strategis nasional (PSN) dan pembangunan infrastruktur terpadu.

Ditambah lagi, sebagian besar tenaga ahli terkonsentrasi di wilayah perkotaan, seperti Jawa dan Sumatera, sementara kawasan Indonesia Timur dan wilayah perbatasan masih kekurangan SDM geospasial yang mumpuni. Hal ini menyebabkan kesenjangan signifikan dalam pemetaan, survei, dan perencanaan wilayah, yang berdampak langsung terhadap keadilan pembangunan antarwilayah.

Selain persoalan SDM, tantangan lain datang dari kesenjangan dalam adopsi dan penguasaan teknologi canggih. Perangkat survei modern, seperti unmanned aerial vehicle (UAV), light detection and ranging (LiDAR), serta pemrosesan data berbasis kecerdasan buatan dan cloud computing sebenarnya sudah mulai digunakan oleh sebagian pelaku industri. Teknologi ini dapat mempercepat proses akuisisi data, meningkatkan akurasi, serta meminimalkan biaya operasional.

Namun, implementasinya masih belum merata akibat keterbatasan investasi, infrastruktur pendukung, dan kurangnya pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Di beberapa daerah, survei masih dilakukan secara konvensional dengan metode manual yang sudah tidak efisien untuk kebutuhan geospasial modern.

Meski demikian, terdapat peluang besar yang bisa dimanfaatkan Indonesia. Adopsi teknologi terbaru menawarkan jalan keluar bagi efisiensi dan efektivitas kerja di sektor ini. UAV, LiDAR, big data, dan sistem informasi geografis (SIG) berbasis cloud dapat menjadi katalisator transformasi industri survei dan pemetaan.

Pemerintah melalui Badan Informasi Geospasial (BIG) juga telah mendorong percepatan sertifikasi profesi melalui sistem registrasi dan pelatihan nasional. Peraturan seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial serta penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) semakin memperkuat pentingnya tenaga kerja bersertifikasi dalam memastikan akurasi dan legalitas data spasial yang digunakan di berbagai sektor.

Namun, ancaman juga datang dari munculnya perusahaan baru yang lebih gesit dan adaptif terhadap teknologi digital. Mereka mampu memberikan layanan cepat dan murah, yang menjadi tantangan serius bagi para surveyor konvensional yang belum bertransformasi secara digital.

Persaingan harga yang ketat dan tuntutan efisiensi dari klien mendorong terjadinya tekanan margin keuntungan, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas pekerjaan apabila tidak diimbangi dengan standar profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Oleh karena itu, profesional geospasial perlu meningkatkan daya saingnya melalui inovasi, peningkatan kapasitas, dan penguatan etika profesi.

Menghadapi tantangan ini, Masykur menyebutkan diperlukan strategi yang komprehensif dan berkelanjutan. Pertama, dari aspek kompetensi, penting untuk memastikan pendidikan formal yang kuat, sertifikasi profesi yang kredibel, serta pelatihan berkelanjutan yang menjawab perkembangan teknologi terbaru. Kedua, dari sisi etika profesi, surveyor harus menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya. Ketiga, kepatuhan terhadap regulasi, seperti standar teknis (SNI/ISO) dan peraturan perundangan, harus ditegakkan untuk menjaga kualitas dan akurasi data geospasial. Keempat, diperlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga akademik guna menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan SDM geospasial yang kompeten dan adaptif terhadap perubahan.

Surveyor Bersertifikasi Jadi Kunci Tumbuhnya Ekosistem Geospasial yang Sehat

Dengan populasi yang besar dan kondisi geografis yang kompleks, Indonesia memiliki kebutuhan sangat tinggi terhadap data spasial yang akurat dan mutakhir. Namun, potensi ini tidak akan maksimal tanpa dukungan sumber daya manusia yang profesional dan berstandar. Investasi dalam penguatan kapasitas SDM geospasial, terutama melalui sistem sertifikasi nasional dan pengembangan teknologi, harus menjadi prioritas pembangunan.

Tanpa adanya tenaga surveyor tersertifikasi yang tersebar merata dan memiliki kompetensi mumpuni, penggunaan teknologi geospasial yang canggih tidak akan berdampak signifikan. Justru, kesalahan dalam pengukuran dan interpretasi data dapat berujung pada kegagalan proyek, kerugian ekonomi, dan ketimpangan pembangunan wilayah.

Dengan demikian, kekurangan surveyor tersertifikasi bukan hanya persoalan teknis, melainkan isu strategis yang menyangkut kualitas pembangunan nasional. Indonesia harus mampu menciptakan ekosistem geospasial yang kuat, didukung oleh tenaga profesional, teknologi terkini, serta regulasi yang berpihak pada penguatan kapasitas dalam negeri. Jika tantangan ini dapat diatasi maka teknologi geospasial bukan hanya menjadi alat bantu, tetapi juga penggerak utama pembangunan berbasis data yang inklusif dan berkelanjutan.

Sumber: Ikatan Surveyor Indonesia

+
+