Default Title
logo spatial highlights
Mengapa Data dari BIG dan ATR/BPN terkait 4 Pulau yang Jadi Sengketa Aceh-Sumatera Utara Berbeda?

Mengapa Data dari BIG dan ATR/BPN terkait 4 Pulau yang Jadi Sengketa Aceh-Sumatera Utara Berbeda?

Pulau-pulau kecil di perairan Aceh dan Sumatera Utara mendadak menjadi sorotan publik. Bukan karena keindahan alamnya, melainkan karena jadi rebutan dua provinsi yang sama-sama mengklaim sebagai pemilik sah. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek kini tengah berada di tengah pusaran sengketa wilayah administratif. Sengketa ini bukan sekadar adu klaim, tetapi juga membuka tabir lemahnya koordinasi data spasial antar-instansi pemerintah.

Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek saat ini menjadi perbincangan masyarakat Indonesia, setelah pemerintah daerah Aceh dan Sumatera Utara memperebutkan pulau tersebut. Keempat pulau kecil ini mendadak jadi sumber sengketa karena perbedaan data administratif yang tercantum dalam dua sistem resmi milik negara, yaitu Sistem Informasi Nama Rupabumi (SINAR) milik Badan Informasi Geospasial (BIG) dan aplikasi BHUMI milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Perbedaan ini memunculkan pertanyaan mendasar, bagaimana bisa satu wilayah negara memiliki versi berbeda soal batas administrasi?

Awal Polemik Muncul

Berdasarkan penelusuran kami terhadap SINAR, yang dikelola oleh BIG, keempat pulau tersebut terdaftar secara administratif sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara. Data dalam SINAR tidak sembarangan karena mengacu pada hasil Survei Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2006–2012 dan telah diperkuat oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1-1-6117 Tahun 2022 tentang penetapan dan verifikasi nama-nama pulau di Indonesia.

Secara teknis, SINAR adalah sistem acuan utama untuk nomenklatur dan identitas geografis resmi di Indonesia. Penentuan administratif dalam SINAR mencerminkan hasil survei vektor pantai dan pengukuran koordinat geospasial yang telah tervalidasi.

Namun, patut dicatat bahwa SINAR lebih fokus pada nama dan identitas rupabumi, bukan kepemilikan atau penguasaan lahan. Hal inilah yang menjadi celah pertama yang memunculkan interpretasi berbeda dari lembaga lain.

Berlawanan dengan data SINAR, peta interaktif yang tersedia di BHUMI ATR/BPN, portal resmi pemetaan bidang tanah nasional, menyebutkan bahwa keempat pulau tersebut berada dalam wilayah administratif Provinsi Aceh. Sistem BHUMI menyajikan peta bidang tanah dan batas wilayah desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten berdasarkan basis data pertanahan. Informasi ini mengacu pada data administrasi pertanahan dan hasil pemetaan kadastral, yang mencerminkan legalitas kepemilikan lahan dan penggunaan ruang secara hukum.

Namun, saat dilakukan pencarian langsung terhadap Pulau Panjang dan Mangkir Ketek di BHUMI, lokasi kedua pulau itu tidak muncul secara visual di peta. Baru setelah koordinat dari SINAR digunakan, terlihat bahwa pulau-pulau tersebut tampak tertutup oleh bidang berwarna hijau. Meski tidak terlihat jelas bentuk pulaunya, secara batas wilayah administratif, kedua pulau yang diyakini sebagai Pulau Panjang dan Mangkir Ketek itu termasuk dalam kawasan Provinsi Aceh.

Mengapa Data Bisa Berbeda?

Perbedaan ini mencerminkan persoalan klasik dalam pengelolaan data geospasial Indonesia, yaitu fragmentasi antar-instansi dan tidak sinkronnya basis data spasial. BIG, sebagai pembina informasi geospasial nasional, bertugas menyusun referensi tunggal untuk peta dasar, tetapi banyak kementerian dan lembaga, termasuk ATR/BPN, yang memiliki sistem pemetaan tersendiri dengan pendekatan teknis yang berbeda.

Perbedaan data antara BIG dan ATR/BPN soal kepemilikan empat pulau yang disengketakan oleh Aceh dan Sumatera Utara bisa terjadi karena masing-masing lembaga menggunakan cara kerja dan tujuan yang berbeda dalam mengolah data wilayah. Badan Informasi Geospasial (BIG), misalnya, lebih fokus pada peta fisik, seperti bentuk daratan, garis pantai, dan lokasi pulau, yang diperoleh dari survei langsung ke lapangan atau citra satelit. Data yang dikumpulkan BIG bersifat teknis dan lebih mengutamakan keakuratan posisi suatu tempat di bumi, tetapi belum tentu cocok atau langsung disesuaikan dengan data kepemilikan lahan yang sah menurut hukum.

Sementara itu, Kementerian ATR/BPN sebagai lembaga yang mengurus pertanahan lebih menekankan aspek hukum dan kepemilikan. Mereka mengutamakan siapa yang secara sah dan resmi tercatat sebagai pemilik atau pengelola sebuah wilayah, termasuk pulau. Oleh karena itu, pendekatannya lebih berfokus pada legalitas dokumen dan batas-batas administrasi, bukan hanya pada posisi geografis.

Masalah menjadi makin rumit ketika terjadi perubahan batas wilayah antara satu daerah dan daerah lain. Sayangnya, pembaruan data ini sering tidak dilakukan secara serentak oleh semua instansi. Akibatnya, satu pulau bisa tercatat milik Aceh di satu sistem, tetapi masuk wilayah Sumatera Utara di sistem lainnya. Data yang tidak saling sinkron ini bisa memicu konflik antardaerah.

Selain itu, faktor politik, sejarah masa lalu, dan sudut pandang masyarakat lokal juga ikut memengaruhi bagaimana suatu wilayah dianggap milik siapa. Hal ini sangat mungkin terjadi di Aceh, yang punya sejarah panjang soal otonomi daerah dan persoalan batas wilayah. Perbedaan pandangan dan lambatnya pembaruan data di semua sistem membuat masalah seperti ini terus berulang.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah Indonesia?

Untuk menyelesaikan masalah perbedaan data antarinstansi, seperti yang terjadi antara BIG dan ATR/BPN soal empat pulau di Aceh dan Sumatera Utara, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah yang serius dan menyeluruh. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyatukan semua data peta dari berbagai lembaga ke dalam satu sistem nasional yang sama. Saat ini, data dari satu lembaga bisa berbeda dengan lembaga lain karena mereka memakai acuan yang tidak seragam. Pemerintah sebenarnya sudah mencanangkan Kebijakan Satu Peta sejak 2016, tetapi pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan. Padahal, jika semua lembaga mengacu pada peta dasar yang sama maka perbedaan seperti ini bisa dihindari.

Langkah kedua yang penting adalah melakukan pemeriksaan langsung di lapangan oleh tim gabungan dari BIG dan ATR/BPN. Pemeriksaan ini bertujuan memastikan secara faktual dan teknis apakah benar keempat pulau itu masuk wilayah Aceh atau Sumatera Utara. Proses ini juga harus melibatkan pemerintah daerah dari kedua provinsi agar hasilnya dapat diterima semua pihak. Dengan begitu, tidak ada lagi ruang untuk klaim sepihak atau kesalahpahaman yang berlarut-larut.

Selanjutnya, pemerintah juga perlu memberikan edukasi kepada pejabat daerah dan masyarakat soal jenis-jenis peta yang digunakan dalam pemerintahan. Tidak semua orang paham bahwa ada perbedaan antara peta bentuk wilayah (seperti nama dan posisi pulau), peta batas administratif (batas provinsi atau kabupaten), dan peta pertanahan (soal siapa yang punya hak atas tanah). Tanpa pemahaman yang cukup, informasi ini bisa disalahartikan dan malah menimbulkan konflik.

Setelah data-data ini diselaraskan, pemerintah pusat harus berani menegakkan aturan berdasarkan hasil penetapan batas yang sudah final. Jika tidak ada penegakan hukum maka sengketa wilayah seperti ini akan terus berulang dan masyarakat di daerah terdampak yang akan menjadi korban.

Kasus keempat pulau ini sebetulnya hanyalah satu contoh dari banyaknya masalah dalam sistem pemetaan wilayah di Indonesia. Masih banyak daerah yang mengalami hal serupa, di mana batas antara desa, kecamatan, bahkan provinsi belum jelas atau belum disepakati secara hukum.

Masalah ini bukan sekadar teknis, tetapi berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Ketika batas wilayah tidak jelas, pelayanan publik bisa terganggu, pembangunan jadi tidak merata, dan pengawasan terhadap sumber daya, terutama di wilayah laut, menjadi lemah. Padahal, sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan wilayah yang baik. Dengan demikian, langkah-langkah perbaikan dalam sistem pemetaan nasional adalah sesuatu yang mendesak dan tidak bisa ditunda lagi.

Sumber: BHUMI, SINAR

+
+