Default Title
logo spatial highlights
BRIN Tawarkan Solusi Atasi Permukiman Kumuh lewat Smart Sensing AI

BRIN Tawarkan Solusi Atasi Permukiman Kumuh lewat Smart Sensing AI

Permukiman kumuh merupakan kawasan padat penduduk di wilayah perkotaan yang ditandai oleh kondisi tempat tinggal yang tidak layak serta keterbatasan akses terhadap layanan dasar, seperti air bersih, sanitasi, perumahan yang memadai, dan kepemilikan lahan yang aman. Kawasan ini sangat rentan terhadap berbagai risiko lingkungan, terutama banjir.

Menurut Peneliti Ahli Utama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Orbita Roswintiarti, kemajuan teknologi smart sensing yang menggabungkan data satelit, kecerdasan buatan (AI), dan analisis spasial kini dapat dimanfaatkan untuk memantau kondisi permukiman kumuh dan potensi risiko banjir secara lebih efisien, bahkan dari luar angkasa.

Dalam riset terbarunya, Orbita bersama timnya memanfaatkan teknologi ini untuk memetakan permukiman kumuh dan menilai tingkat kerentanannya terhadap banjir di wilayah Kota Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun peta risiko banjir yang akurat sebagai bagian dari kontribusi terhadap pengurangan risiko bencana serta pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya yang berkaitan dengan pembangunan perkotaan dan perubahan iklim.

“Apa yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu memetakan risiko banjir di permukiman kumuh Bandung menggunakan teknologi canggih, sambil berkontribusi pada upaya pengurangan risiko bencana dan tujuan pembangunan berkelanjutan global terkait kota dan iklim,” tambahnya pada agenda The BRIN–ESCAP Workshop on Space Applications for Sustainable Development in Asia and the Pacific, Selasa, 17 Juni 2025 di Jakarta.

Orbita menjelaskan bahwa kemunculan permukiman kumuh banyak dipicu oleh pertumbuhan urbanisasi yang cepat tanpa perencanaan yang matang, tingginya harga tanah dan rumah, serta lemahnya pengawasan terhadap regulasi pertanahan. Sementara itu, banjir di kawasan ini umumnya disebabkan oleh banjir bandang, luapan sungai, buruknya sistem drainase, invasi permukiman ke wilayah rawan banjir, serta tingginya curah hujan.

Untuk mendeteksi permukiman kumuh, tim peneliti menggunakan citra satelit SPOT-6 beresolusi 1,5 meter yang diambil pada 17 Agustus 2021. Data pelengkap, seperti jaringan jalan, sungai, dan rel kereta api, diperoleh dari OpenStreetMap serta hasil observasi lapangan.

“Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi permukiman kumuh meliputi kepadatan atap yang tinggi, struktur bangunan yang tidak beraturan, jauh dari akses jalan, jalanan sempit, serta lokasi di sepanjang sungai dan jalur kereta api,” terang Orbita. Sementara itu, data peta kerawanan banjir diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Bandung.

Dari hasil penelitian tersebut, Orbita menyimpulkan bahwa integrasi teknologi smart sensing, AI, dan informasi lokal memungkinkan pemetaan kawasan kumuh secara luas dan pemantauan berkala terhadap kerentanannya. Namun, keberhasilan analisis ini tetap bergantung pada ketersediaan citra satelit bebas awan serta kemampuan dalam mengelola data yang besar, kompleks, dan memerlukan proses pemrosesan lanjutan berdasarkan ukuran, kepadatan, dan pola spasial permukiman.

Sumber: Badan Riset dan Inovasi Nasional

+
+