

77 Proyek Strategis Nasional Bakal Berlandaskan Perspektif Pembangunan Informasi Geospasial
Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan mengumumkan daftar 77 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 pada International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 yang digelar pada 11–12 Juni 2025 lalu di Jakarta. Dari seluruh proyek tersebut, sembilan di antaranya berfokus pada sektor konektivitas dan menjadi prioritas utama dalam mengintegrasikan pendekatan pembangunan berbasis informasi geospasial.
Penguatan informasi geospasial dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan akurasi perencanaan, efektivitas pelaksanaan, serta keandalan pemantauan pembangunan nasional. Hal ini selaras dengan agenda nasional terkait implementasi Kebijakan Satu Peta dan transformasi digital berbasis ruang.
Terdapat setidaknya sembilan proyek yang berfungsi sebagai proyek strategis dalam bidang pengembangan konektivitas dari 77 PSN dalam RPJMN 2025–2029 (Perpres 12/2025):
- Pelabuhan terintegrasi Ambon (Maluku) yang dikelola oleh KKP dan Kemenhub.
- Jalan tol terintegrasi dengan utilitas di Sumatra yang dikelola Badan Usaha Milik Negara.
- Penyediaan infrastruktur untuk DOB Papua yang dikelola Pemerintah Provinsi Papua.
- Pengembangan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dikelola Otorita IKN, KEMENPU.
- Pelabuhan Patimban Jawa Barat yang dikelola Kementerian Perhubungan.
- MRT Koridor Timur-Barat Jakarta yang dikelola Kementerian Perhubungan, Pemerintah DKI Jakarta.
- Tol Serang–Panimbang Banten yang dikelola KEMENPU.
- Tol Probolinggo–Banyuwangi Jawa Timur yang dikelola KEMENPU.
- Akses tol ke pelabuhan Patimban yang dikelola KEMENPU.
Geospasial sebagai Perspektif Pembangunan Kewilayahan
Semua proyek ini berada dalam kerangka intervensi pembangunan regional yang mencakup tiga tujuan utama. Pertama, menciptakan ekosistem percepatan pembangunan regional melalui konektivitas infrastruktur yang menjamin layanan dasar, keselamatan transportasi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Kedua, pembangunan afirmatif dan pedesaan untuk mengurangi ketimpangan melalui pembangunan infrastruktur dasar di daerah tertinggal dan wilayah terpencil, dengan menggunakan data geospasial sebagai dasar distribusi prioritas. Ketiga, pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di wilayah perkotaan melalui pengembangan kawasan metropolitan, kota-kota otonom, serta kawasan industri unggulan, dengan memperhatikan analisis spasial atas lahan, permukiman, dan potensi ekonomi.
Pentingnya pendekatan geospasial terlihat jelas dalam arah kebijakan regional ke depan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi dengan spesifikasi yang berbeda. Sumatra ditargetkan tumbuh dari 5% pada 2025 menjadi 8% pada 2029 dengan fokus pada pembangunan berbasis sumber daya alam. Kalimantan dan Sulawesi diarahkan menjadi superhub ekonomi, dengan target pertumbuhan masing-masing meningkat dari 6,7% menjadi 9% dan 8,5%.
Maluku ditetapkan sebagai hub kemaritiman timur dengan pertumbuhan 2–2,5%, sedangkan Papua diharapkan tumbuh sangat tinggi, mencapai 21,4% hingga 22% karena dorongan infrastruktur di DOB. Sementara itu, Bali-Nusra diarahkan untuk mengembangkan pariwisata dan ekonomi kreatif berbasis data spasial wilayah pesisir. Jawa sendiri masih mendominasi perekonomian nasional dengan kontribusi sebesar 78,6% pada 2025 meskipun akan turun menjadi 77,6% pada 2029 karena desentralisasi pertumbuhan.
Pembangunan Berkelanjutan Berlandaskan Geospasial
Dalam pembangunan kewilayahan, pemanfaatan informasi geospasial menjadi makin krusial untuk menyinergikan aspek tata ruang, pertanahan, infrastruktur dasar, serta layanan publik. Peta tematik spasial digunakan untuk menentukan lokasi sekolah, rumah sakit, jaringan listrik, dan air bersih. Begitu pula dalam pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kluster industri, informasi geospasial membantu pemerintah dalam menganalisis kesesuaian lahan, aksesibilitas logistik, dan potensi investasi. Selain itu, kawasan rawan bencana dan daerah konservasi menjadi perhatian khusus, di mana peta kerawanan gempa, banjir, dan tanah longsor akan menjadi acuan utama dalam menyusun zonasi pembangunan dan mitigasi risiko.
Namun demikian, tantangan masih cukup besar. Ketersediaan data geospasial yang akurat, terkini, dan berkualitas tinggi belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, kapasitas SDM pemerintah daerah dalam mengelola dan menganalisis data spasial masih perlu ditingkatkan. Fragmentasi antar-instansi dalam pengumpulan dan pemanfaatan data pun menjadi kendala dalam membangun sistem spasial yang terintegrasi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mempercepat pelaksanaan Satu Data Indonesia dan memperkuat Kebijakan Satu Peta agar integrasi spasial dapat dijadikan fondasi pembangunan. Selain itu, pelatihan dan pendampingan penggunaan SIG dan SIGI harus ditingkatkan, terutama di daerah dengan infrastruktur rendah. Teknologi pengindraan jauh, drone, serta pemodelan 3D harus diperluas agar perencanaan pembangunan tidak lagi berbasis asumsi, melainkan data yang nyata dan bisa diverifikasi.
Melalui pendekatan ini, proyek strategis nasional bukan hanya akan berjalan lebih efisien, tetapi juga lebih inklusif dan berkelanjutan. Penguatan informasi geospasial akan menjadi pilar utama dalam mewujudkan pembangunan wilayah yang berkeadilan, adaptif terhadap bencana, dan responsif terhadap perubahan iklim. Jika dijalankan secara konsisten, Indonesia tidak hanya akan membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membangun landasan digital spasial yang kokoh menuju Indonesia Emas 2045.
Sumber: X @stravenues, Badan Pemeriksa Keuangan
