Default Title
logo spatial highlights
Konflik Lahan Ulayat Tenayan Raya Jadi Cermin Urgensi Kepastian Spasial Tanah Adat

Konflik Lahan Ulayat Tenayan Raya Jadi Cermin Urgensi Kepastian Spasial Tanah Adat

Konflik spasial kembali mencuat di wilayah Tenayan Raya, Kota Pekanbaru. Sejumlah masyarakat yang mengatasnamakan anak kemenakan Batin Tenayan mendatangi kantor DPRD Provinsi Riau, Kamis, 23 Oktober 2025, untuk menyampaikan aspirasi terkait sengketa lahan ulayat yang mereka klaim sebagai tanah warisan leluhur.

Persoalan ini diklaim tidak hanya menyangkut kepemilikan tanah, tetapi juga pengakuan terhadap ruang hidup masyarakat adat yang secara turun-temurun telah membentuk identitas spasial kawasan tersebut. Audiensi yang berlangsung di Gedung DPRD Riau itu diterima langsung oleh Anggota DPRD Provinsi Riau dari Dapil Kota Pekanbaru, Ayat Cahyadi.

Dalam pertemuan tersebut, Ayat menjelaskan bahwa konflik yang terjadi merupakan bagian dari perdebatan panjang mengenai pengakuan hak tanah ulayat dan tumpang tindih penguasaan lahan antara masyarakat adat dan pihak pengusaha.

“Ini dari anak menakan Batin Tenayan. Mereka menyampaikan aspirasi pertama tentang hak-hak tanah ulayat agar diakui. Berawal ketika ada anak menakan Batin Tenayan yang sedang mengolah tanah ulayat, tiba-tiba datang oknum-oknum atas perintah seorang pengusaha hingga terjadilah bentrok,” ujar Ayat Cahyadi dikutip dari Cakaplah.

Menurut Ayat, DPRD Riau akan segera menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan menggelar koordinasi lintas lembaga agar konflik tidak makin meluas. “Masyarakat meminta agar pengusaha yang disebut-sebut terlibat juga dipanggil. Kami akan sampaikan kepada pimpinan untuk ditindaklanjuti. Selain mendengarkan dari pihak masyarakat, kami juga akan meminta keterangan dari pengusaha, BPN, dan Pemerintah Kota Pekanbaru, termasuk Camat Tenayan Raya serta Lurah Melebung yang mengetahui lokasi lahan tersebut,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa dewan akan menampung seluruh aspirasi masyarakat adat dan mengarahkan persoalan tersebut kepada komisi yang relevan. “Kalau soal status dan luas lahan, tentu nanti pihak adat yang lebih mengetahui. Kami dari dewan menampung dulu aspirasinya, kemudian akan kami sampaikan ke pimpinan untuk melihat apakah akan ditangani oleh Komisi I atau Komisi II,” tambahnya.

Baca juga: Kementerian ATR/BPN Dorong Penerbitan Sertifikat Tanah Ulayat, Sejalan dengan Program ILASP

Sertifikat Lahan Sejak 1962

Dari sisi masyarakat adat, tokoh Melayu Datuk Win menegaskan bahwa lahan yang dipersoalkan merupakan bagian dari tanah ulayat Batin Tenayan yang telah tercatat dalam sejarah kepemilikan adat. “Kami memegang lahan itu sesuai dalam sejarah kami pada 1890 yang telah kami suratkan pada 1962,” ujarnya.

Ia juga menuturkan bahwa kelompok tani yang bekerja di lahan tersebut merupakan bagian dari masyarakat adat yang menjaga dan mengelola warisan leluhur. Namun, aktivitas mereka terganggu setelah muncul kelompok lain yang diduga datang dengan cara-cara yang meresahkan. “Selaku kelompok tani yang bekerja itu mereka sedang kerja, Pak, langsung preman-preman itu datang di sana,” ungkap Datuk Win.

Baca juga: Masyarakat Adat Miyah Petakan Wilayah secara Mandiri Gunakan GPS

Pentingnya PTSL

Konflik lahan di Tenayan Raya menjadi potret dari ketegangan spasial yang kerap muncul akibat belum adanya kepastian hukum atas status tanah ulayat. Ketidakjelasan batas wilayah dan tumpang tindih klaim ruang menjadikan lahan adat rentan terhadap pengambilalihan oleh pihak lain. Situasi ini menunjukkan pentingnya kebijakan tata ruang yang berpihak pada pengakuan wilayah adat dan kepastian hukum lahan.

Sebagai langkah solutif, pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN telah menggulirkan Program Prioritas Nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Dilansir dari Pagertoyo, program ini menjadi instrumen penting dalam menghadirkan kejelasan spasial melalui pendaftaran tanah secara serentak di tingkat desa atau kelurahan.

Melalui PTSL, masyarakat dapat memperoleh sertifikat resmi yang berfungsi sebagai bukti hukum kepemilikan, sekaligus mencegah terjadinya konflik lahan di masa mendatang. Program ini juga membuka peluang ekonomi baru karena sertifikat tanah dapat dijadikan agunan untuk akses permodalan usaha. Dengan integrasi data spasial dalam PTSL dan pengakuan wilayah adat, konflik seperti di Tenayan Raya dapat diminimalkan melalui kepastian ruang dan keadilan tanah.

+
+