Default Title
logo spatial highlights
Selain ILAPS, Inilah 5 Proyek Geospasial Ambisius dari Negara-Negara Lain

Selain ILAPS, Inilah 5 Proyek Geospasial Ambisius dari Negara-Negara Lain

Saat Indonesia memperkenalkan Integrated Land and Spatial Planning System (ILASP) pada tahun 2025, langkah tersebut menjadi sorotan dunia. Proyek ini menjadi tonggak baru dalam cara pemerintah mengelola tata ruang dan pertanahan berbasis data geospasial, atau sederhananya, data peta digital yang menggambarkan kondisi wilayah secara detail dan akurat.

Program ini merupakan hasil kerja sama antara Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Tujuannya bukan hanya menata ulang sistem pertanahan, tetapi juga menciptakan tata ruang yang lebih siap menghadapi perubahan iklim dan tantangan pembangunan di masa depan.

Didukung pendanaan besar dari World Bank sebesar USD 653 juta (sekitar Rp10,4 triliun), ILASP akan berjalan hingga tahun 2030. Fokus utamanya mencakup lima hal penting: perencanaan tata ruang berbasis iklim, peningkatan keamanan kepemilikan lahan, pengembangan sistem informasi pertanahan, pembuatan peta dasar berskala besar, dan penguatan kapasitas lembaga.

Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara yang bergerak ke arah ini. Di berbagai belahan dunia, proyek-proyek geospasial kini menjadi fondasi penting dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah. Dari Arab Saudi hingga Korea Selatan, berikut lima proyek besar yang menunjukkan betapa pentingnya peran teknologi peta dalam membangun masa depan.

  1. Arab Saudi—GEOSA

Sebagai bagian dari Vision 2030, Arab Saudi membentuk lembaga General Authority for Survey and Geospatial Information (GEOSA). Tujuan utamanya sederhana, namun ambisius: menyatukan semua data peta dari berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta, ke dalam satu sistem nasional. Data ini kemudian digunakan untuk mendukung proyek-proyek raksasa, seperti NEOM, kota futuristik yang dibangun di tengah gurun dengan konsep ramah lingkungan dan teknologi tinggi.

Melalui GEOSA, Arab Saudi bisa mempercepat proses perizinan lahan, perencanaan kota, dan pengawasan pembangunan infrastruktur. Intinya, dengan peta digital yang saling terhubung, keputusan bisa dibuat lebih cepat dan akurat.

  1. Uzbekistan—GISTD

Negara Asia Tengah ini meluncurkan proyek Geospatial Infrastructure for Sustainable Territorial Development (GISTD), juga dengan bantuan dana dari World Bank sebesar USD 35 juta (sekitar Rp560 miliar). Proyek ini bertujuan membangun sistem data spasial nasional yang bisa digunakan untuk memetakan sumber daya alam, mengatur tata guna lahan, dan menghindari tumpang tindih wilayah.

Dengan adanya data geospasial yang terbuka dan terintegrasi, pemerintah Uzbekistan bisa mengambil keputusan pembangunan berdasarkan bukti dan data nyata, bukan perkiraan. Langkah ini juga membantu mengurangi konflik lahan yang sering muncul karena batas wilayah yang tidak jelas.

  1. India—SWAMITVA

India punya pendekatan yang unik melalui proyek SWAMITVA. Fokusnya adalah membantu masyarakat pedesaan mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka. Pemerintah India menggunakan drone dan teknologi pemetaan canggih untuk memetakan wilayah desa, lalu memberikan sertifikat digital kepemilikan tanah kepada warga.

Dengan cara ini, masyarakat bisa memiliki bukti sah kepemilikan tanah yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk mengajukan pinjaman usaha. Proyek ini menunjukkan bagaimana teknologi peta bisa langsung memberikan dampak nyata bagi masyarakat kecil.

  1. Inggris—NUAR

Kalau negara lain fokus di permukaan, Inggris justru melangkah ke bawah tanah lewat proyek National Underground Asset Register (NUAR). Proyek ini membuat peta digital 3D yang berisi informasi tentang jaringan pipa, kabel listrik, dan sistem drainase di seluruh negeri.

Selama ini, pekerjaan konstruksi sering berisiko karena banyak infrastruktur bawah tanah yang tidak terdata dengan baik. NUAR membantu mengurangi risiko kecelakaan saat pembangunan sekaligus menghemat biaya proyek hingga jutaan poundsterling setiap tahunnya. Dengan teknologi ini, Inggris membuktikan bahwa pemetaan geospasial tidak hanya penting untuk yang tampak di permukaan, tetapi juga untuk dunia yang tersembunyi di bawah tanah.

  1. Korea Selatan—Hyper-realistic Digital Twin of Seoul

Korea Selatan membawa konsep geospasial ke level yang lebih futuristik dengan proyek Hyper-realistic Digital Twin of Seoul. Secara sederhana, ini adalah “kembaran digital” dari kota Seoul, sebuah kembaran digital yang terus diperbarui secara real-time. Melalui data dari sensor IoT, citra satelit, dan kamera lalu lintas, sistem ini bisa menyimulasikan berbagai skenario, seperti kemacetan, bencana banjir, atau kebijakan baru yang akan diterapkan.

Dengan begitu, pemerintah bisa melihat dampak suatu kebijakan di dunia digital sebelum diterapkan di dunia nyata. Proyek ini menjadi contoh bagaimana kota pintar masa depan bisa dikelola dengan data geospasial yang akurat dan terus berkembang.

Menuju Era Baru Tata Kelola Ruang yang Berkelanjutan

Proyek-proyek tersebut menjadi bukti bahwa teknologi geospasial kini menjadi kunci dalam membangun masa depan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Melalui peta digital dan data spasial yang akurat, manusia dapat memahami ruang hidupnya dengan lebih baik, dari pola pembangunan, potensi wilayah, hingga risiko lingkungan. Pendekatan ini memungkinkan setiap kebijakan dan keputusan pembangunan dilakukan dengan dasar yang kuat, transparan, dan terukur.

Lebih dari sekadar alat pemetaan, geospasial telah berkembang menjadi fondasi perencanaan yang mampu menyatukan berbagai sektor: lingkungan, ekonomi, sosial, dan infrastruktur. Dengan sistem yang saling terhubung dan berbasis data, tata kelola ruang kini bukan sekadar menggambar batas wilayah, melainkan juga menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlangsungan makhluk hidup yang ada di dalamnya.

+
+