Default Title
logo spatial highlights
Masyarakat Adat Miyah Petakan Wilayah secara Mandiri Gunakan GPS

Masyarakat Adat Miyah Petakan Wilayah secara Mandiri Gunakan GPS

Masyarakat adat Miyah di Papua Barat Daya secara mandiri menyusun peta adat wilayah. Di kampung-kampung, masyarakat mulai melakukan pemetaan partisipatif. Upaya ini merupakan salah satu tameng terakhir untuk melindungi wilayah adat. “Peta itu bukan kertas, tapi jalan bagi kami menjaga masa depan,” ujar Direktur Perkumpulan Akawuon, Stefen Soter Hae, dilansir dari Jubi, Jumat, 12 September 2025.

Pemetaan mandiri tersebut bukan sekadar urusan administratif, melainkan juga cara masyarakat Miyah untuk mempertahankan eksistensi. “Jika tanah dan hutan hilang, maka hilang pula jati diri masyarakat adat,” ujar Stefen.

Upaya ini bukan hal baru. Beberapa tahun lalu, pemetaan dilakukan di tingkat marga, meski berjalan lambat. Kini, prosesnya digeser ke tingkat suku agar semua marga tercakup. Dengan begitu, peta adat Miyah menjadi warisan kolektif yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, sekaligus menjadi rujukan hukum, budaya, dan perisai untuk menghadapi ancaman investasi.

Pemetaan ini dirancang dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk mendorong pengakuan resmi pemerintah, melindungi tanah adat dari eksploitasi, mendokumentasikan nama tempat dan cerita leluhur, serta meminimalkan konflik batas wilayah. Seluruh proses dijalankan secara partisipatif, mulai dari musyawarah adat, survei lapangan menggunakan GPS, hingga validasi bersama masyarakat.

Image 1

Langkah besar ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Foker Papua yang menyalurkan hibah sebagai bentuk kepercayaan terhadap kapasitas organisasi lokal. Bagi Akawuon, dukungan ini bukan dana semata, melainkan juga energi baru yang memperkuat gerakan akar rumput.

Proyek yang sudah berjalan lebih dari dua tahun ini berfokus pada lima hal: penyediaan kerangka hukum, pembentukan lembaga pendaftaran tanah adat, alokasi pembiayaan berbasis kelembagaan, pembangunan unit pengelola pekerja Papua, serta penguatan kolaborasi antar-pihak. Meski begitu, tidak dipungkiri masih banyak hambatan yang dihadapi. Percepatan legislasi hak adat masih terhambat regulasi yang belum memadai, lemahnya tata layanan, terbatasnya SDM, dan minimnya pembiayaan.

Dengan adanya pemetaan mandiri ini, Fasilitator AMAHUTA Kabupaten Tambrauw, Luis Kumap, berharap wilayah adat yang sedang dipetakan segera mendapat pengakuan resmi pemerintah. “Dengan begitu dapat dikelola secara mandiri berbasis ekonomi berkelanjutan, memperkuat persatuan masyarakat adat, sekaligus menjadi benteng menghadapi investasi yang berpotensi mengancam tanah dan hutan leluhur di Tanah Papua,” jelasnya.

Masyarakat Miyah kini melihat pemetaan wilayah adat sebagai tonggak penting dalam menjaga identitas, kedaulatan, dan hak adat mereka. Peta akan menjadi bukti sahih bahwa tanah ini memang milik leluhur mereka, bukan tanah kosong yang bisa diambil seenaknya.

+
+