Default Title
logo spatial highlights
ILASP dan One Spatial Planning Policy Jadi Dua Proyek Geospasial Paling Ambisius di Indonesia, Apa Bedanya?

ILASP dan One Spatial Planning Policy Jadi Dua Proyek Geospasial Paling Ambisius di Indonesia, Apa Bedanya?

Pemanfaatan teknologi geospasial kini menjadi fondasi penting dalam arah kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Pemerintah mulai menyadari bahwa data spasial bukan sekadar alat pemetaan, melainkan juga dasar pengambilan keputusan lintas sektor, mulai dari tata kelola lahan hingga mitigasi bencana. Kesadaran inilah yang melahirkan dua proyek geospasial paling ambisius saat ini, Integrated Land Administration and Spatial Planning (ILASP) dan One Spatial Planning Policy (Kebijakan Satu Rencana Tata Ruang). Kedua inisiatif ini menjadi representasi transformasi digital tata ruang Indonesia, yang berupaya menyatukan data, kebijakan, dan sistem dalam satu kerangka pengelolaan ruang yang terintegrasi.

Meski sama-sama berorientasi pada integrasi spasial nasional, keduanya memiliki fokus yang berbeda. ILASP berperan dalam memperkuat fondasi data dan sistem pertanahan berbasis iklim serta meningkatkan keamanan tenurial lahan, sementara One Spatial Planning Policy menekankan penyelarasan kebijakan tata ruang lintas matra, darat, laut, udara, dan bawah tanah, agar pembangunan tidak lagi berjalan sektoral.

Pertanyaan kuncinya kini adalah sejauh mana kedua proyek ini dapat saling melengkapi dan menjawab kompleksitas tata ruang Indonesia yang selama ini diwarnai tumpang tindih kebijakan dan peta sektoral antar lembaga?

ILASP: Integrasi Sistem Pertanahan dan Tata Ruang Nasional

ILASP merupakan proyek lintas lembaga yang digagas oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Setelah disetujui oleh DPR RI pada Februari 2025, proyek ini mendapatkan pendanaan dari World Bank dengan nilai pinjaman mencapai 653 juta USD atau sekitar Rp10,4 triliun, dengan target pengerjaan dari tahun 2025–2030 mendatang.

Tujuan utama ILASP adalah memperkuat sistem tata ruang dan administrasi pertanahan Indonesia melalui integrasi data spasial, legalitas lahan, serta kebijakan adaptif terhadap perubahan iklim. Dalam dokumen perencanaan, ILASP memiliki lima komponen utama:

  1. Perencanaan tata ruang berbasis iklim
  2. Penguatan keamanan tenurial dan pengelolaan lanskap
  3. Sistem informasi pertanahan dan penilaian
  4. Peta dasar skala besar untuk aksi iklim
  5. Manajemen proyek dan peningkatan kapasitas

Program ini tidak sekadar bersifat teknokratis, tetapi juga transformatif. Dengan pendekatan “climate-smart spatial planning”, ILASP diharapkan mampu memperkuat ketahanan iklim nasional, memastikan keadilan akses terhadap lahan, serta meningkatkan efisiensi penggunaan ruang.

Dalam konteks geospasial, ILASP menjadi upaya membangun “jembatan data” antara sistem pertanahan dan perencanaan ruang. Data spasial yang dihasilkan bukan hanya untuk pemetaan administratif, melainkan juga untuk analisis kebijakan lintas sektor, misalnya pengendalian deforestasi, perencanaan wilayah rawan bencana, dan perencanaan investasi hijau.

Lebih jauh, ILASP juga menjawab tantangan yang muncul pasca-Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Fiskal, yang mengharuskan lembaga negara beradaptasi terhadap keterbatasan anggaran. Oleh karena bersumber dari dana pinjaman internasional, ILASP menjadi contoh bagaimana reformasi tata ruang bisa tetap berjalan tanpa membebani APBN, sekaligus memperkuat kolaborasi lintas lembaga berbasis data spasial modern.

Baca juga: Efisiensi Pemerintah menjadi Tantangan Baru bagi Industri Geospasial

One Spatial Planning Policy: Menuju Tata Ruang Terpadu Lintas Matra

One Spatial Planning Policy yang digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Kemenko IPK) menjadi langkah strategis menuju tata ruang nasional yang terpadu lintas matra, yang terdiri atas darat, laut, udara, dan bawah tanah. Kebijakan ini dirancang untuk menyatukan seluruh rencana tata ruang dari berbagai kementerian dan lembaga agar tidak lagi tumpang tindih. Sistem ini akan menjadi “dokumen tunggal rencana tata ruang nasional” yang mengintegrasikan seluruh data spasial, dari kawasan industri, pertanian, hingga wilayah konservasi.

Kebijakan ini merupakan bentuk penguatan dari Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia, tetapi dengan cakupan yang lebih menyeluruh. Jika Kebijakan Satu Peta berfokus pada keseragaman peta dasar, maka One Spatial Planning Policy menekankan sinkronisasi kebijakan pemanfaatan ruang antara pusat dan daerah. Lahirnya kebijakan ini merupakan respons atas kondisi di lapangan, di mana masih banyak tumpang tindih zona, seperti area pertambangan yang berbenturan dengan kawasan hutan lindung atau wilayah permukiman. Tanpa acuan tunggal, pembangunan sulit dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nusron Wahid, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak dimaksudkan untuk mengambil alih kewenangan kementerian lain, melainkan memperkuat koordinasi lintas sektor agar tata ruang menjadi dasar pembangunan, investasi, dan mitigasi bencana di masa depan. Sejalan dengan amanat UU No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kualitas data geospasial dan interoperabilitas antarinstansi. Tanpa standar data yang seragam, One Spatial Planning Policy berpotensi berhenti sebagai proyek koordinatif di atas kertas.

Dua Jalur, Satu Tujuan

Jika ditinjau dari pendekatannya, ILASP dan One Spatial Planning Policy sebenarnya menempuh dua jalur berbeda dengan satu tujuan besar: mewujudkan tata kelola ruang yang efisien, adil, dan berkelanjutan. ILASP berfokus pada reformasi sistem pertanahan dan tata ruang berbasis iklim, memperkuat aspek legalitas dan data spasial sebagai fondasi pembangunan nasional. Sementara itu, One Spatial Planning Policy berperan sebagai kerangka koordinasi lintas sektor dan matra ruang, yang menyatukan kebijakan darat, laut, udara, dan bawah tanah dalam satu arah pembangunan terpadu.

Dalam kerangka pembangunan geospasial nasional, ILASP dapat diibaratkan sebagai “mesin data” yang menghasilkan informasi akurat dan terverifikasi, sedangkan One Spatial Planning Policy berfungsi sebagai “peta arah” yang memastikan pemanfaatan ruang berjalan konsisten dengan rencana nasional. Sinergi keduanya berpotensi menciptakan ekosistem geospasial terpadu yang mampu mengurangi konflik lahan, mempercepat perencanaan infrastruktur, dan memperkuat adaptasi terhadap perubahan iklim.

Namun, keberhasilan integrasi ini sangat bergantung pada sinkronisasi antarlembaga, keseragaman metadata, dan infrastruktur digital yang mumpuni. Tanpa koordinasi yang jelas, dua proyek ambisius ini berisiko berjalan sejajar tanpa pernah benar-benar terhubung dalam satu sistem geospasial nasional yang utuh.

Dua Pilar untuk Tata Ruang Berkelanjutan

Baik ILASP maupun One Spatial Planning Policy mencerminkan komitmen pemerintah untuk menjadikan teknologi geospasial sebagai fondasi tata kelola ruang yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan. Kedua proyek ini saling melengkapi: ILASP memperkuat fondasi teknis, legalitas data, serta sistem pertanahan berbasis iklim, sementara One Spatial Planning Policy memastikan sinkronisasi kebijakan lintas sektor dan matra ruang agar pembangunan tidak lagi terfragmentasi.

Dengan kolaborasi yang solid antarlembaga, integrasi kedua proyek ini dapat mewujudkan ekosistem tata ruang nasional yang lebih efisien dan transparan. Sinergi antara “mesin data” ILASP dan “peta arah” One Spatial Planning Policy akan menjadi langkah strategis menuju era “satu ruang, satu data, satu kebijakan”, sebuah tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju kedaulatan geospasial nasional yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.

+
+