Default Title
logo spatial highlights
Membaca “The Map Is Not the Territory” Alfred Korzybski dari Aspek Geospasial

Membaca “The Map Is Not the Territory” Alfred Korzybski dari Aspek Geospasial

Ungkapan “the map is not the territory” pertama kali diperkenalkan oleh filsuf sekaligus insinyur berdarah Polandia-Amerika, Alfred Korzybski. Melalui slogan itu, ia ingin menekankan bahwa manusia sering kali keliru menyamakan model atau representasi realitas dengan realitas itu sendiri.

Menurut Korzybski, setiap model memang berfungsi untuk mewakili suatu kenyataan, tetapi ia tidak pernah identik dengan kenyataan tersebut. Bahkan dalam bentuk terbaiknya, model tetap membutuhkan interpretasi. Hal ini karena model selalu bersifat reduktif atau penyederhanaan dari kompleksitas yang jauh lebih besar di dunia nyata. Akibatnya, model tidak pernah benar-benar sempurna. Namun, sifat manusia cenderung menerima keterbatasan ini begitu saja, bahkan sering kali lebih memilih model yang keliru daripada tidak memiliki model sama sekali.

Dari sini, muncul implikasi praktis yang sangat penting, terutama bagi para pelaku di bidang jasa yang berhubungan dengan pemodelan. Bagi para pelaku di bidang ini, baik di bidang sains maupun teknik, ada kecenderungan untuk “terpesona” oleh akurasi kuantitatif atau kekuatan prediktif yang ditawarkan model.

Implikasi Geospasial

Dalam konteks geospasial, kita tahu bahwa sebuah peta topografi, citra satelit, atau model GIS tidak akan pernah sepenuhnya menangkap kompleksitas keruangan di lapangan. Peta mungkin menunjukkan garis jalan, batas administrasi, atau pola tata guna lahan. Akan tetapi, ia tidak bisa menggambarkan dinamika sosial-ekonomi, pergeseran budaya, atau perubahan ekologis yang terus terjadi di ruang nyata. Inilah yang dimaksud bahwa ada “wilayah” yang selalu lebih kaya daripada “peta”.

Lebih jauh, ketika kebijakan tata ruang atau perencanaan wilayah hanya berfokus pada data spasial yang statis, kita berisiko mengabaikan perubahan yang terjadi di lapangan. Contohnya, sebuah peta tata kota mungkin menunjukkan zona hijau, tetapi realitas di lapangan bisa berbeda karena adanya urbanisasi yang cepat, banjir, atau migrasi penduduk. Jika peta itu tidak diperbarui, keputusan pembangunan yang diambil bisa menimbulkan masalah baru, misalnya konflik lahan atau kerentanan bencana.

Contoh Historis dari Sains

Sebenarnya, kita bisa belajar dari sejarah ilmu pengetahuan. Fisika Newton selama ratusan tahun menjadi model yang sangat berguna untuk memahami hukum alam, mulai dari gravitasi hingga gerak benda langit. Newton memberikan sebuah "peta" yang luas cakupannya.

Namun pada 1905, Albert Einstein dengan teori relativitas khusus mengubah pemahaman kita secara mendasar. Ia menggantikan kerangka pikir Newton dengan “peta” baru.

Model dan Realitas

Peta dan model spasial seharusnya dipandang sebagai alat navigasi dinamis. Sama seperti hukum fisika Newton dan Einstein yang merupakan “peta ilmiah” dengan batas cakupan tertentu, peta geospasial pun harus dipahami batas keakuratannya. GIS, LiDAR, drone, atau pengindraan jauh hanyalah alat bantu untuk membaca ruang. Nilainya terletak pada kemampuannya menggambarkan realitas keruangan yang sedang berlangsung. Apabila realitas itu berubah, representasi spasial juga wajib diperbarui.

Sebagai contoh, Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau dengan wilayah laut yang luas. Peta laut konvensional sering kali hanya menampilkan garis pantai dan jalur pelayaran, tetapi tidak mampu menangkap dinamika spasial, seperti perubahan garis pantai akibat abrasi atau kenaikan muka air laut.

Namun, pertanyaan yang muncul jika kita berbicara mengenai relasi model dan realitas adalah soal hubungan kausalitas. Lantas, bisakah model peta kemudian memengaruhi bagaimana realitas bekerja?

Hal ini menjadi salah satu argumen utama yang dikemukakan Jane Jacobs dalam karya monumentalnya The Death and Life of Great American Cities. Dalam bukunya, Jacobs menyoroti bagaimana para perencana kota sering kali menyusun model atau rancangan ideal mengenai bentuk dan organisasi kota, tanpa benar-benar memahami bagaimana kota sesungguhnya berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.

Alih-alih menyesuaikan model dengan kenyataan kota yang hidup dan dinamis, para perencana kota justru berusaha memaksa kota agar sesuai dengan model yang mereka buat. Jacobs menggambarkan bagaimana peta rencana tata kota atau masterplan kemudian dijadikan acuan mutlak, dan kota-kota diubah sedemikian rupa agar sejalan dengan rancangan tersebut.

Pada akhirnya, ungkapan “the map is not the territory” mengingatkan kita bahwa model mental atau representasi tentang dunia tidak pernah sama dengan dunia nyata itu sendiri. Proses memperbarui peta atau model bukanlah hal yang mudah sebab hal itu berkelindan dengan tuntutan rekonsiliasi antara apa yang kita inginkan dengan apa yang benar-benar terjadi di lapangan. Pesan ini menegaskan bahayanya ketika kita menyamakan abstraksi dengan realitas yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dan selalu berubah.

+
+