

Sore, Teknologi Geospasial dari Masa Depan
Disclaimer: Artikel ini terinspirasi dari film “Sore, Istri dari Masa Depan”. Tulisan ini menyiratkan optimisme perkembangan teknologi geospasial Indonesia yang makin cerah.
Meski bagi sebagian orang teknologi geospasial terdengar asing, khususnya dalam pemanfaatan sehari-hari ataupun dalam kebijakan nasional, realitas menunjukkan bahwa teknologi ini mulai menggeliat dan mengambil peran krusial dalam berbagai aspek kehidupan. Dari tata ruang, pengelolaan lahan, mitigasi bencana, hingga penyusunan kebijakan strategis berbasis wilayah, data spasial kini menjadi elemen penting dalam sistem pengambilan keputusan. Perkembangannya yang semula perlahan, tetapi pasti, kini memasuki fase transformasi yang signifikan. Indonesia pun tengah bersiap menempatkan dirinya sebagai salah satu pemain utama dalam ekosistem geospasial global.
Salah satu bukti kemajuan signifikan itu adalah pencapaian Indonesia dalam laporan Geospatial Knowledge Infrastructure (GKI) Readiness Index 2025 yang dirilis oleh Geospatial World. Dalam laporan tersebut, Indonesia naik lima peringkat dari posisi ke-33 pada tahun 2022 menjadi posisi ke-28 pada 2025. Pencapaian ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari upaya kolektif dan strategis dalam membangun infrastruktur dan ekosistem geospasial nasional.
Lebih menarik lagi, Indonesia kini berada di peringkat tertinggi di antara negara-negara berpendapatan menengah atas, mengungguli Malaysia (29), Afrika Selatan (33), dan Thailand (38). GKI Readiness Index mengukur kesiapan negara dalam lima pilar, yaitu infrastruktur, kapasitas kelembagaan, kebijakan, ekosistem industri, dan adopsi pengguna. Artinya, Indonesia tidak hanya mengikuti arus transformasi digital, tetapi telah mengambil peran aktif dalam membentuk arah perkembangan teknologi spasial dunia. Namun pertanyaannya, apa yang membuat kemajuan ini mungkin terjadi, dan bagaimana Indonesia memelihara momentum ini?
BIG Sang Motor Integrasi Data
Jawabannya sebagian besar terletak pada peran strategis Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai motor penggerak transformasi spasial nasional. BIG berperan sebagai koordinator dalam pengelolaan informasi geospasial dan berhasil membangun fondasi kokoh melalui koordinasi lintas sektor. Salah satu terobosannya adalah penyusunan peta dasar skala besar 1:5.000 yang sangat krusial untuk mendukung tata kelola agraria, penataan ruang wilayah, serta mitigasi bencana dan perubahan iklim.
Langkah ini tidak berdiri sendiri. Keberhasilan BIG juga didorong oleh konsistensi implementasi Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2021 tentang Kebijakan Satu Peta (KSP). Kebijakan ini mendorong integrasi 85 peta tematik lintas kementerian dan provinsi, dengan dukungan teknologi canggih, seperti light detection and ranging (LiDAR), radar, objek 3D, dan citra satelit resolusi tinggi. Dengan demikian, integrasi data spasial tidak lagi bersifat sektoral, tetapi berskala nasional, konsisten, dan kredibel. Inilah yang menjadi batu loncatan menuju transformasi spasial yang lebih luas.
Satu Peta dan Arah Baru Pembangunan Nasional
Kebijakan Satu Peta lebih dari sekadar upaya menyatukan peta. Ia adalah strategi nasional untuk menciptakan tata kelola informasi spasial yang efisien, akurat, dan dapat diakses lintas lembaga. Melalui pendekatan ini, peta tematik menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan publik, termasuk dalam pengendalian pemanfaatan ruang, pemetaan zona rawan bencana, serta perizinan berbasis lokasi.
Penerapan teknologi mutakhir dalam penyusunan peta dasar turut mendongkrak efektivitas program ini. LiDAR dan citra satelit resolusi tinggi memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih akurat, baik untuk pembangunan infrastruktur, perlindungan lingkungan, hingga alokasi lahan. Oleh karena itu, peta bukan lagi hanya simbol batas wilayah, melainkan juga menjadi instrumen vital dalam pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Dengan fondasi data dan kebijakan yang kian matang, Indonesia kini memproyeksikan diri sebagai negara pemimpin dalam ekonomi berbasis spasial. Transformasi digital telah mendorong integrasi teknologi geospasial dalam berbagai sektor strategis, seperti pertanian presisi, pengembangan kota pintar, transportasi berbasis data spasial, serta mitigasi perubahan iklim.
Peningkatan kapabilitas digital nasional, partisipasi aktif dalam forum global, seperti Geospatial World Forum 2025, serta terbentuknya kemitraan regional memperkuat posisi Indonesia. Teknologi spasial kini memainkan peran sebagai peta jalan pembangunan ekonomi yang berbasis lokasi, efisien, dan berorientasi jangka panjang.
Sektor Akademik yang Laris Manis
Namun, ekosistem yang kuat tak akan bertahan tanpa sumber daya manusia yang unggul. Di sinilah, dunia pendidikan berperan penting. Seiring naik daunnya sektor geospasial, makin banyak generasi muda yang melirik jurusan-jurusan, seperti geografi, teknik geodesi dan geomatika, sistem informasi geografis (SIG), hingga kartografi dan pengindraan jauh. Institusi seperti UGM, ITB, ITS, UI, dan Undip telah menjadi pusat pengembangan talenta-talenta muda di bidang ini.
Para mahasiswa di bidang geospasial tidak hanya belajar teori pemetaan, tetapi juga menguasai perangkat lunak, seperti ArcGIS, QGIS, Global Mapper, dan pemrosesan data pengindraan jauh. Lulusan mereka terserap di sektor pemerintah (seperti BIG dan Bappenas), perusahaan teknologi dan konsultan, NGO lingkungan, bahkan startup berbasis lokasi. Karier sebagai akademisi dan peneliti pun terbuka lebar.
Peluang karier di bidang ini tidak hanya luas, tetapi juga menjanjikan secara finansial. Untuk tingkat entry-level, gaji berkisar Rp5 juta hingga Rp8 juta per bulan. Profesional menengah bisa memperoleh Rp8–12 juta, dan senior lebih dari Rp20 juta per bulan. Di sektor pemerintahan, selain gaji pokok, pegawai juga bisa menerima tunjangan kinerja hingga Rp29 juta per bulan. Sementara di sektor swasta, seorang GIS specialist di Jakarta bisa mengantongi hingga Rp9,5 juta. Fakta ini menunjukkan bahwa teknologi geospasial tidak hanya relevan secara strategis, tetapi juga menarik dari sisi ekonomi.
Fondasi Ekosistem yang Terus Berkembang
Sejalan dengan tuntutan zaman, teknologi geospasial terus berinovasi. Integrasi kecerdasan buatan (AI), big data, dan internet of things (IoT) membuka kemungkinan baru dalam pengolahan dan pemanfaatan data spasial. AI digunakan dalam analisis lahan otomatis, sedangkan IoT memungkinkan pengumpulan data spasial real-time untuk transportasi dan manajemen bencana. Konsep digital twin bahkan memungkinkan simulasi kota secara virtual untuk memprediksi dampak kebijakan pembangunan. Pemerintah pun turut mendukung pengembangan SDM geospasial dengan pelatihan, sertifikasi, dan kolaborasi pendidikan yang berkelanjutan.
ILASP: Ujung Tombak Geospasial Indonesia
Untuk menopang semua potensi tersebut, Indonesia mengembangkan program strategis Integrated Land Administration and Spatial Planning (ILASP). Proyek yang digagas oleh Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, dan BIG ini didukung oleh pinjaman Bank Dunia senilai US$653 juta atau sekitar Rp10,4 triliun. ILASP ditujukan untuk memperkuat lima sektor utama, di antaranya tata ruang berbasis iklim, keamanan tenurial lahan, sistem informasi pertanahan modern, peta dasar skala besar, dan penguatan kelembagaan.
Program ini lahir sebagai respons atas tantangan efisiensi fiskal dan kebutuhan akan tata ruang yang adaptif terhadap krisis iklim. ILASP tidak hanya membangun infrastruktur data, tetapi juga membentuk kerangka kerja kelembagaan yang mendukung ekosistem spasial berkelanjutan.
Dampak ILASP tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan ekonomi. Dengan data spasial yang akurat dan terpadu, konflik lahan dapat ditekan, proses perizinan menjadi lebih cepat, dan investasi pun meningkat. Program ini juga mendukung komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan adaptasi perubahan iklim. Ketahanan pangan, konservasi lingkungan, dan keadilan agraria pun mendapat dorongan nyata dari implementasi proyek ini.
Sore yang Mengantar Fajar Perubahan
Dalam makna filosofis, sore adalah waktu transisi, menjelang malam, namun menyimpan refleksi menuju fajar. Layaknya Sore dari film Sore, Istri dari Masa Depan, geospasial hadir sebagai pesan dari masa depan tentang harapan, kesiapan, dan transformasi. Teknologi ini bukan lagi sekadar alat bantu teknis, melainkan katalis perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan. Lompatan lima peringkat dalam GKI Readiness Index menunjukkan bahwa Indonesia mulai membuka pintu menuju masa depan spasial yang lebih matang dan terstruktur.
Di balik capaian ini, ada kepemimpinan visioner dari Badan Informasi Geospasial (BIG) yang membangun fondasi integrasi data nasional, memperkuat tata ruang, dan menyokong kebijakan berbasis bukti yang lebih inklusif dan akurat. Geliat sektor akademik dan profesional di bidang ini pun memperlihatkan betapa generasi muda mulai membaca arah angin dan menempatkan geospasial sebagai peta profesi masa depan.
Menariknya, perkembangan teknologi geospasial bukan hanya bergerak dari dalam negeri. Sebuah laporan terbaru dari Precedence Research memberikan kabar bahagia bagi para pegiat bidang ini: pasar global geospasial diproyeksikan mengalami pertumbuhan signifikan selama satu dekade ke depan.
Pada tahun 2024, nilai pasar teknologi geospasial tercatat sebesar US$92,19 miliar dan diperkirakan melonjak menjadi sekitar US$338,78 miliar pada tahun 2034, dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 13,9% antara 2025 hingga 2034. Pertumbuhan ini didorong oleh tingginya permintaan terhadap layanan berbasis lokasi, pengembangan kota pintar, serta analisis data spasial real-time di sektor pertanian, pertahanan, transportasi, hingga kesehatan masyarakat.
Kemampuan teknologi ini dalam menyelesaikan masalah kompleks, menyediakan visualisasi spasial, dan mendukung keputusan strategis lintas sektor menjadi alasan utama mengapa dunia meliriknya. Dengan demikian, ketika dunia bergerak ke arah yang sama, Indonesia sudah bersiap menjadi bagian dari arus utama, bahkan mungkin sebagai salah satu penentu arah.
Referensi: Precedence Research, Politeknik Baja Jegal, Geospatial World, Kementerian ATR/BPN, Bank Dunia
