Default Title
logo spatial highlights
Efisiensi Pemerintah menjadi Tantangan Baru bagi Industri Geospasial

Efisiensi Pemerintah menjadi Tantangan Baru bagi Industri Geospasial

Memasuki tahun 2025, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas fiskal nasional di tengah tekanan global dan kebutuhan domestik yang terus meningkat. Dalam upaya mengefisienkan pengeluaran negara, pemerintah mengambil langkah tegas melalui penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Kebijakan ini menjadi sinyal kuat bahwa penghematan dan penataan ulang belanja publik akan menjadi pijakan utama dalam perencanaan anggaran ke depan.

Melalui inpres tersebut, total pemangkasan anggaran negara mencapai Rp306,69 triliun, yang rinciannya terdiri atas Rp256 triliun dari pos belanja kementerian dan lembaga serta Rp50 triliun dari transfer ke pemerintah daerah. Instruksi ini berlaku secara lintas sektor dan menyasar berbagai program yang dinilai tidak masuk dalam kategori prioritas nasional. Pemerintah menyatakan bahwa efisiensi ini bukan hanya sebatas pemotongan, tetapi bagian dari strategi realokasi sumber daya ke sektor-sektor yang dianggap memiliki dampak langsung terhadap masyarakat luas dan pembangunan jangka panjang.

Namun, di balik agenda efisiensi ini, muncul sejumlah kekhawatiran dari kalangan birokrat, akademisi, hingga pelaku industri, terutama dari sektor-sektor yang tidak secara langsung masuk dalam prioritas baru. Salah satunya adalah industri geospasial yang selama ini menjadi fondasi perencanaan pembangunan berbasis data lokasi. Pertanyaan pun mencuat. Apakah efisiensi ini turut memangkas kemampuan negara dalam membangun kebijakan berbasis spasial yang presisi dan berkelanjutan?

Efek Domino Pemangkasan Anggaran

Salah satu sektor yang terdampak secara langsung adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Lembaga ini selama bertahun-tahun memegang peran penting dalam pemetaan, sertifikasi tanah, tata ruang wilayah, serta dukungan teknis untuk proyek-proyek strategis nasional. Namun, dalam kebijakan efisiensi terbaru, anggaran ATR/BPN dipangkas sebesar Rp2,01 triliun, atau sekitar 31,17% dari pagu awal Rp6,45 triliun, menyisakan anggaran hanya Rp4,44 triliun untuk tahun anggaran 2025.

Pemangkasan ini bukan sekadar angka, tetapi berimplikasi langsung terhadap kemampuan kementerian dalam mengeksekusi berbagai proyek pemetaan yang menjadi dasar dari hampir semua aktivitas pembangunan. Misalnya, proses pemetaan jalan tol baru yang menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur nasional, serta proyek pembebasan lahan untuk berbagai proyek strategis, seperti kawasan industri, pelabuhan, dan pembangunan lahan-lahan untuk transportasi publik. Tanpa data spasial yang akurat dan terkini, proyek-proyek tersebut berisiko mengalami keterlambatan bahkan kegagalan teknis.

Layaknya efek domino, pemotongan anggaran tersebut juga berpengaruh ke sektor swasta. Banyak perusahaan penyedia jasa pemetaan dan teknologi geospasial, seperti konsultan GIS, perusahaan surveyor, dan kontraktor drone mapping, mulai merasakan dampak dari pemangkasan anggaran kementerian tersebut. Proyek-proyek pemetaan jalan tol dan pengukuran lahan yang selama ini menjadi ladang proyek bagi sektor swasta kini tertunda atau bahkan dibatalkan.

Pemotongan anggaran dari ATR/BPN tersebut diperkirakan akan berimbas ke perusahaan-perusahaan penyediaan jasa geospasial dan pemetaan, seperti penurunan volume proyek dibandingkan tahun sebelumnya yang berpotensi menyebabkan pengurangan tenaga kerja dan pembekuan kontrak kerja sama. Efisiensi anggaran ini tentunya bukan hanya menimbulkan berkurangnya berbagai proyek, namun memunculkan permasalahan struktural, seperti ancaman pengangguran yang semakin meluas. Pemangkasan tajam terhadap anggaran kementerian teknis, seperti ATR/BPN, justru melemahkan rantai ekosistem geospasial nasional, terutama pada tahap implementasi lapangan yang sangat bergantung pada data real-time, pemetaan fisik, serta koordinasi lintas instansi.

Jalan Gelap Pembangunan di Balik Efisiensi

Industri geospasial di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan, yaitu antara tekanan efisiensi fiskal jangka pendek dan kebutuhan mendesak akan pembangunan yang berbasis data spasial yang presisi. Dalam konteks ini, pemangkasan anggaran bukan sekadar soal angka, tetapi soal visi, apakah negara ini bersungguh-sungguh menempatkan data sebagai landasan pengambilan keputusan, atau justru melanggengkan pembangunan yang berjalan dengan insting dan asumsi semata.

Jika efisiensi dilakukan tanpa memahami secara mendalam peran krusial sektor geospasial dalam mendukung hampir semua dimensi pembangunan, mulai dari tata ruang, pertanahan, infrastruktur, mitigasi bencana, hingga perencanaan kota, maka kita sedang menyaksikan langkah mundur dalam tata kelola pembangunan nasional. Bukan hanya perusahaan dan tenaga ahli geospasial yang merugi, melainkan juga masyarakat luas yang akan menerima hasil kebijakan yang tidak berbasis pada realitas spasial di lapangan.

Pemerintah perlu meninjau ulang prioritasnya dengan pendekatan sistemik yang mempertimbangkan keterkaitan lintas sektor, bukan pendekatan sektoral yang terfragmentasi. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, pembangunan tanpa data spasial ibarat navigasi tanpa peta. Risiko kesalahan arah, pemborosan anggaran, dan tumpang tindih kebijakan menjadi beban yang harus dibayar mahal di kemudian hari.

Indonesia membutuhkan keberanian untuk menjadikan data spasial sebagai infrastruktur dasar pembangunan, bukan pelengkap belaka. Sebab, tanpa data spasial yang akurat dan terkini, pembangunan berisiko berjalan dalam gelap. Niat yang baik namun tanpa arah juga bisa menyesatkan.

Sumber: gsri kompas

+
+