

Pakar Tata Ruang IPB: Ada Kesenjangan antara Realitas dan Kebutuhan di Daerah Rawan
Kebutuhan perumahan yang terus meningkat sering kali tidak sejalan dengan kondisi di lapangan. Banyak permukiman justru berdiri di kawasan yang seharusnya tidak layak huni, seperti daerah rawan banjir atau wilayah dengan daya dukung lingkungan rendah.
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap IPB University, Dr. Akhmad Arifin Hadi, menegaskan bahwa pembangunan, baik oleh pengembang maupun individu, seharusnya mengacu pada tata ruang resmi yang telah ditetapkan pemerintah. “Di dalam tata ruang itulah, pemerintah sudah mengalokasikan kawasan yang layak dijadikan permukiman. Tapi kalau ternyata permukiman malah dibangun di tempat rawan banjir, berarti tata ruangnya perlu ditinjau kembali,” ujarnya.
Menurutnya, masalah ini sering terjadi akibat penggunaan data tata ruang yang kurang akurat, valid, dan terkini. Ia menegaskan bahwa data yang tidak berkualitas akan menghasilkan rencana tata ruang kurang tepat sehingga pemerintah harus menggunakan data yang benar-benar kuat.
Akhmad juga menyoroti kesenjangan antara kebutuhan hunian dan prinsip permukiman berkelanjutan. Penetapan zona permukiman, katanya, seharusnya mempertimbangkan berbagai aspek, seperti topografi, jenis tanah, hidrologi, hingga jaringan infrastruktur.
Ia mengingatkan bahwa pembangunan yang mengabaikan faktor ekologis bisa memunculkan masalah baru, misalnya mengganggu habitat satwa liar. Contohnya, ketika permukiman dibangun di jalur migrasi satwa, hewan-hewan tersebut terpaksa berpindah ke lahan pertanian dan menjadi hama.
Terkait regulasi, Akhmad menilai bahwa kebijakan pembangunan permukiman sebenarnya sudah ada. Tantangannya adalah memastikan kebijakan itu diterapkan secara konsisten. “Kalau suatu wilayah memang tidak memiliki daya dukung untuk dijadikan permukiman, ya jangan dijadikan zona permukiman. Jangan hanya karena sudah ada sertifikat tanah, lalu langsung dibangun rumah tanpa memperhatikan aspek lanskapnya,” ujarnya.
Akhmad menekankan bahwa lanskap adalah sistem hidup yang saling terhubung. Masyarakat perlu memahami bahwa membangun rumah berarti berinteraksi dengan unsur lingkungan, seperti air, matahari, angin, dan karakter fisik tanah.
Untuk permukiman yang telanjur dibangun di kawasan tidak layak, Akhmad menawarkan dua pendekatan. Jika masalahnya besar, seperti topografi ekstrem atau lokasi berada di jalur aliran air, maka kawasan tersebut sebaiknya dikembalikan menjadi area lindung.
“Misalnya daerah banjir yang memang jadi tempat berkumpul air, ya solusinya harus dikembalikan jadi hutan. Kalau tidak, biaya modifikasi dan manajemen lanskapnya akan sangat mahal,” jelasnya.
Sebaliknya, jika masalahnya masih ringan, perbaikan dapat dilakukan melalui rekayasa lanskap skala kecil, seperti penambahan tanah atau pengaturan drainase. Akhmad juga menekankan perlunya tata ruang berbasis data yang valid dan terbuka bagi publik, serta kepatuhan masyarakat terhadap aturan tersebut. “Undang-undang tata ruang sudah mengatur sanksi bagi pelanggar. Maka mari kita sama-sama patuh, demi kenyamanan dan keberlanjutan lingkungan hidup,” pungkasnya.
Baca juga: Benarkah Banjir di Mataram Jadi Bukti Krisisnya Tata Ruang?
