

Dosen UGM Manfaatkan Teknologi Geospasial dan AI sebagai Alat Ketahanan Pangan Nasional, Tiru India dan Amerika Serikat
Modernisasi pertanian Indonesia kini memasuki babak baru seiring pesatnya perkembangan teknologi digital. Upaya memperkuat ketahanan pangan nasional tidak lagi hanya mengandalkan survei lapangan, tetapi mulai bertransformasi dengan memanfaatkan citra satelit, big data, dan kecerdasan buatan (AI) sebagai alat utama pemantauan dan pengambilan keputusan.
Dilansir dari Trubus, sejumlah lembaga pemerintah, seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tengah berkolaborasi mengembangkan sistem pemantauan pangan berbasis teknologi. Sistem ini diharapkan mampu menghadirkan data ketersediaan serta kebutuhan pangan secara lebih akurat, cepat, dan mudah diakses, sekaligus mendukung perencanaan kebijakan yang berbasis bukti.
Menurut Bayu Dwi Apri Nugroho, Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (FTP UGM), pemanfaatan inovasi digital merupakan langkah strategis untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. “Hadirnya inovasi menjadi salah satu jawaban dalam mengatasi kebutuhan data yang akurat, nyata, dan real-time. Sekarang semuanya sudah harus berdasarkan data yang termonitor atau tertangkap dengan citra,” ujar Bayu, Jumat, 10 Oktober 2025 via ANTARA.
Bayu menjelaskan bahwa penerapan teknologi satelit dan kecerdasan buatan akan membantu pemerintah dalam memantau kondisi pangan di wilayah Indonesia yang luas dan beragam. Menurutnya, penerapan awal sebaiknya difokuskan pada wilayah prioritas, khususnya di Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP). Ia menyebut beberapa daerah yang perlu dimonitor secara real-time, antara lain Papua Selatan, Papua, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.
Dari sisi teknologi pertanian, Bayu menegaskan bahwa sistem digitalisasi data akan mempermudah kerja petani dan masyarakat. Namun, ia juga menyoroti tantangan utama, yaitu bagaimana hasil analisis teknologi dapat tersampaikan secara efektif kepada petani di lapangan.
“Tingkat pendidikan dan kemampuan petani berbeda-beda, apalagi di daerah pelosok. Jadi, perlu dipikirkan cara dan metode penyampaian informasinya supaya benar-benar membantu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bayu mengingatkan bahwa penerapan teknologi digital bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Di tengah berbagai tantangan, seperti perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan minimnya regenerasi petani muda, inovasi menjadi kunci untuk menjaga produktivitas dan ketahanan pangan nasional. “Setidaknya, penggunaan inovasi digital dapat membantu memecahkan tantangan-tantangan di sektor pertanian untuk mencapai swasembada pangan,” pungkasnya.
Tiru Langkah India dan Amerika Serikat
India menjadi salah satu pelopor dalam penerapan teknologi satelit untuk sektor pertanian. Pemerintah melalui Indian Space Research Organisation (ISRO) mengembangkan sistem FASAL (Forecasting Agricultural Output using Space, Agro-meteorology and Land-based Observations).
Sistem ini memanfaatkan citra satelit, data cuaca, dan model pertumbuhan tanaman untuk memantau kondisi lahan, memperkirakan hasil panen, serta mendeteksi risiko kekeringan atau gagal panen. Hasilnya, pemerintah dapat menentukan kebijakan impor, subsidi, dan distribusi pangan dengan lebih tepat.
Sementara itu, Amerika Serikat sudah lama memanfaatkan teknologi geospasial untuk mendukung sektor pertanian. Melalui National Agricultural Statistics Service (NASS) dan NASA Harvest Program, negara ini mengintegrasikan citra satelit Landsat, data iklim, dan AI untuk memantau produksi pertanian secara real-time.
Teknologi ini digunakan untuk memetakan pola tanam, menghitung luas lahan pertanian, serta memperkirakan stok pangan nasional. Informasi tersebut menjadi dasar dalam menentukan kebijakan ekspor-impor pangan dan mitigasi dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian.
