

Benarkah Banjir di Mataram Jadi Bukti Krisisnya Tata Ruang?
Sebanyak 6.700 kepala keluarga, atau sekitar 30.000 jiwa, terdampak banjir Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu malam, 6 Juli 2025. Akibatnya, satu orang dilaporkan meninggal dunia per 7 Juli 2025.
Wali Kota Mataram, Mohan Rolisakan, mengatakan bahwa bencana banjir tersebut merupakan banjir yang terbesar selama ini karena terjadi merata pada enam kecamatan di kota itu. Banjir besar ini disebabkan curah hujan tinggi dengan intensitas lama dan merata dari hulu hingga hilir sehingga menyebabkan air Sungai Ancar dan Kali Unus meluap.
Mohan mengatakan bahwa korban banjir telah dievakuasi ke tempat-tempat yang lebih aman dengan menurunkan tim dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), bekerja sama dengan TNI/Polri, serta pihak terkait lainnya. “Alhamdulillah, pagi tadi air sudah menyusut dan masyarakat bisa kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan pembersihan sisa banjir," katanya dilansir dari Antara.
Sekretaris BPBD Kota Mataram, Ahmad Muzaki, mengemukakan bahwa penyebab banjir adalah intensitas hujan sedang hingga lebat dengan durasi cukup lama disertai kilat/petir dan angin kencang. Akibatkan, air sungai meluap dan merendam rumah warga. "Tadi malam kami membuka 10 titik pengungsian. Ada yang di masjid sekolah, Asrama Haji, dan ke rumah-rumah warga sekitar. Tapi Alhamdulillah, hari ini warga kembali untuk membersihkan rumah dari sisa banjir," terangnya.
Krisis Tata Ruang?
Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD NTB, Sambirang Ahmadi, menyebut salah satu faktor utama penyebab banjir tersebut adalah tata ruang yang kacau. Sambirang mengatakan bahwa saat ini NTB mengalami penyusutan ruang terbuka hijau akibat konversi lahan pertanian dan resapan menjadi kompleks perumahan.
“Ini bukan hanya soal curah hujan tinggi. Ini sinyal bahwa kita sedang menghadapi krisis pengelolaan tata ruang yang serius. Pemerintah harus berani mengubah arah kebijakan ke model pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan,” tegas Sambirang.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa lemahnya pengendalian izin properti juga menjadi salah satu penyumbang masalah tata ruang. Sambirang menegaskan bahwa saat ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk merancang kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan hijau dalam RPJMD.
"Perlu ada program unggulan yang secara langsung menjawab ancaman alih fungsi lahan, defisit ekologi kota, dan risiko banjir perkotaan. Realitas hari ini memperlihatkan bahwa tanpa ketegasan pemerintah menjaga kawasan resapan air dan menertibkan industri properti yang ekspansif, maka lingkungan perkotaan akan selalu dalam ancaman banjir," ucapnya.
Sambirang juga menekankan perlunya integrasi tata ruang dan mitigasi bencana agar RPJMD sejalan dengan RTRW serta analisis risiko iklim. Ia mengusulkan pula pengembangan tata kota yang berbasis resiliensi ekologis untuk menghadapi tekanan perubahan iklim dan ekspansi urbanisasi melalui langkah-langkah, seperti peningkatan ruang terbuka hijau (RTH), pengurangan titik genangan air, dan revitalisasi daerah aliran sungai (DAS).