

3 Fungsi Peta sebagai Alat Pergerakan dalam Konsep Critical Cartography
Sejak akhir 1980-an, studi kartografi mengalami pergeseran besar dengan lahirnya pendekatan critical cartography. J.B. Harley sebagai pelopor, bersama pemikir lain, seperti Denis Wood, mengingatkan bahwa peta tidak pernah benar-benar netral. Setiap garis, warna, dan simbol yang tertera selalu menyiratkan relasi kuasa, tentang siapa yang membuatnya, untuk kepentingan siapa, serta narasi mana yang dipilih untuk ditonjolkan atau justru disembunyikan. Dengan cara pandang ini, peta tidak lagi sekadar instrumen teknis untuk navigasi, melainkan sebuah alat politik yang membentuk cara masyarakat memahami ruang sekaligus meneguhkan atau menantang legitimasi kekuasaan.
Dari sudut pandang ini pula, lahir kesadaran baru bahwa peta dapat berfungsi ganda, ia bisa menjadi sarana dominasi, namun sekaligus dapat diubah menjadi instrumen perlawanan. Dalam konteks gerakan massa, perspektif tersebut membuka ruang bagi praktik pemetaan partisipatif dan crowdsourced mapping. Melalui keterlibatan langsung warga, proses pemetaan menjadi sebuah strategi untuk merebut kembali kendali atas data spasial dari tangan otoritas. Hasilnya, peta bertransformasi menjadi senjata moral sekaligus alat strategis untuk menyuarakan aspirasi kolektif, memperkuat solidaritas, dan menafsirkan ulang ruang kota sebagai medan perjuangan.
Dalam konsep tersebut, peta-peta hasil rumusan komunitas tersebut memiliki tiga fungsi utama, di antaranya sebagai berikut.
- Fungsi Peta sebagai Simbol Politik
Selain fungsi praktis, peta juga berperan sebagai simbol politik. Melalui pemetaan komunitas, ruang kota dapat diubah menjadi medan perlawanan simbolis. Setiap titik yang ditandai pada peta bukan sekadar informasi teknis, melainkan juga representasi narasi politik yang ingin ditonjolkan. Geochicas, sekelompok perempuan di Amerika Latin, misalnya, membuat peta feminis untuk menyoroti ketimpangan representasi nama jalan berdasarkan gender. Praktik ini bukan hanya menciptakan kesadaran baru, melainkan juga menjadikan peta sebagai media visibilitas politik bagi gerakan perempuan.
Di Indonesia, praktik serupa dapat dilihat melalui counter-mapping oleh masyarakat adat Kalimantan, yang memetakan wilayah adat mereka untuk menantang legitimasi peta resmi negara dan perusahaan. Dengan cara ini, peta menjadi medium politik yang memperlihatkan klaim ruang, sekaligus mendestabilisasi narasi dominan mengenai tata ruang dan kepemilikan lahan
- Fungsi Peta sebagai Alat Koordinasi Real-Time
Fungsi pertama peta komunitas dalam gerakan massa adalah sebagai alat koordinasi real-time. Melalui pemetaan partisipatif, massa dapat mengetahui situasi lapangan secara dinamis, termasuk perubahan posisi aparat, jalur evakuasi, hingga titik aman untuk berkumpul. Platform seperti Ushahidi di Kenya telah membuktikan efektivitas pendekatan ini dengan memungkinkan warga melaporkan kejadian melalui ponsel dan langsung menampilkannya di peta digital.
Fungsi ini menciptakan lapisan informasi berbasis waktu yang memperkaya peta dengan data kerumunan, lokasi strategis, dan titik rawan. Dalam demonstrasi, kemampuan ini menjadikan massa lebih adaptif terhadap represi negara, mampu bergerak secara terorganisasi, sekaligus mengurangi risiko bentrokan.
- Fungsi Peta sebagai Arsip Advokasi
Fungsi ketiga dari peta komunitas adalah sebagai arsip advokasi. Dalam konteks gerakan sosial, peta berfungsi mendokumentasikan represi negara, mencatat lokasi penangkapan, insiden kekerasan, hingga perubahan tata ruang akibat konflik. Dokumentasi ini penting karena menghadirkan bukti spasial yang dapat digunakan dalam proses advokasi, baik di ranah litigasi maupun perumusan kebijakan. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) di Indonesia, misalnya, telah memetakan jutaan hektar wilayah adat dan menyerahkannya kepada pemerintah sebagai bagian dari Kebijakan Satu Peta.
Hasil pemetaan tersebut bukan hanya arsip teknis, melainkan juga rekam jejak sejarah perjuangan masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan dalam kebijakan ruang nasional. Dengan menyimpan data spasial secara sistematis, peta komunitas mampu menjadi bukti historis yang menguatkan legitimasi gerakan di mata publik maupun pengambil kebijakan.
Peta sebagai Alat Resistensi dan Emansipasi
Dari perspektif critical cartography, peta tidak lagi dapat dipandang sebagai alat netral. Ia adalah instrumen kuasa yang dapat dipakai untuk melanggengkan dominasi atau, sebaliknya, menjadi medium resistensi. Ketiga fungsi ini bekerja secara sinergis, menggabungkan dimensi temporal, simbolik, dan historis ke dalam satu representasi ruang. Dengan demikian, ketika masyarakat berpartisipasi dalam pemetaan, mereka tidak hanya menggambar ulang peta kotanya, melainkan juga menggambar ulang narasi yang melekat pada ruang itu. Peta menjadi wujud konkret dari perjuangan rakyat dalam merebut kembali kendali atas ruang, sekaligus alat kolektif untuk memperjuangkan aspirasi dan keadilan sosial.
Baca juga: 4 Peta Berbasis Komunitas yang Jadi Fondasi Gerakan Massa
