

Data Geospasial Tunjukkan Perubahan Kota di Gaza Dua Tahun Terakhir
Dari ketinggian orbit, Gaza tampak seperti peta abu-abu penuh debu. Bukan lagi deretan permukiman padat yang pernah menjadi rumah bagi lebih dari dua juta jiwa, kini Gaza menjadi hamparan reruntuhan yang menandakan kehancuran sebuah peradaban kota.
Seperti dilaporkan oleh Mizan Online pada 8 Oktober 2025, sebuah analisis terbaru berbasis citra satelit diungkap oleh Conflict Ecology Lab di Oregon State University, sebuah lembaga yang memanfaatkan teknologi geospasial untuk studi lingkungan konflik. Bukti visual menunjukkan tingkat kehancuran yang luar biasa di Jalur Gaza. Setidaknya 197.000 bangunan dilaporkan rusak atau hancur total sejak pecahnya konflik bersenjata berkepanjangan antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina. Perang tersebut berujung pada upaya genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.
Dari pandangan udara, Gaza kini bukan sekadar daerah perang. Gaza menjadi bukti nyata dari apa yang disebut para peneliti sebagai urban collapse atau keruntuhan perkotaan dalam makna yang paling harfiah.
Kota-Kota yang Hilang dari Peta
Umm al-Nasr, sebuah desa kecil berpenduduk tak lebih dari lima ribu jiwa di utara Gaza, kini tinggal kenangan. Citra satelit antara 29 dan 31 Maret 2025 menunjukkan bahwa setiap bangunan di wilayah ini rata dengan tanah. Tak ada lagi tanda kehidupan, hanya garis-garis gelap bekas fondasi rumah yang pernah berdiri di sana.

Tak jauh dari sana, Al-Mughraqa, kota kecil di antara Gaza City dan bagian tengah wilayah, mengalami nasib serupa. Kawasan ini nyaris musnah antara April hingga Agustus 2024, bertepatan dengan pendudukan militer di wilayah yang disebut Netzarim Corridor. Tempat itu merupakan koridor strategis yang dikontrol pasukan Israel.
Di selatan, Rafah dan Jabalia menjadi saksi bisu kehancuran paling parah. Di Tel al-Sultan, distrik Rafah yang dulunya padat penduduk, hampir seluruh blok permukiman telah hilang. Sekolah-sekolah yang dulunya menjadi pusat pendidikan anak-anak kini menjadi tumpukan puing. Beberapa warga yang sempat kembali selama masa gencatan senjata hanya menemukan tenda-tenda darurat di atas puing rumah mereka sendiri.
Perpindahan penduduk terjadi secara besar-besaran. Ribuan warga Gaza yang kehilangan rumah terpaksa mengungsi ke Al-Mawasi. Wilayah itu merupakan wilayah pertanian di barat daya Gaza. Ironisnya, tempat yang dulu dikenal sebagai kawasan hijau kini berubah menjadi lautan tenda pengungsi.
Israel menyebut Al-Mawasi sebagai “zona kemanusiaan”, area yang dianggap aman dari pertempuran. Namun kenyataannya jauh berbeda. Kepala UNRWA Philippe Lazzarini menggambarkan kondisi di sana sebagai “zona kelangsungan hidup yang nyaris mustahil.” Akses terhadap air bersih, makanan, dan layanan kesehatan sangat terbatas. Banyak keluarga hidup berdesakan di tenda-tenda seadanya, tanpa jaminan keselamatan, bahkan dari udara.
Tak hanya rumah, sistem pendidikan Gaza juga nyaris lumpuh. Data terbaru menunjukkan 88 persen sekolah di wilayah itu rusak atau hancur, dengan sedikitnya 318 gedung pendidikan luluh lantak akibat serangan udara dan darat.

Salah satu contohnya adalah Sekolah Dasar al-Firdaws di Rafah Barat, yang dulunya menampung hampir 500 siswa. Saat konflik memuncak, bangunan itu dijadikan tempat pengungsian. Namun setelah pasukan Israel mengambil alih wilayah tersebut, sekolah itu dihancurkan dan lokasinya dijadikan tempat distribusi bantuan kemanusiaan sementara.
Di Khan Younis, lima sekolah yang melayani hampir tujuh ribu siswa hancur dalam satu bulan, Agustus 2025. Beberapa video yang dirilis oleh militer Israel menunjukkan penghancuran empat sekolah lainnya di kawasan sekitar, dengan klaim bahwa bangunan tersebut digunakan kelompok perlawanan untuk kegiatan militer.
Data spasial di sini merekam setiap jejak perubahan lanskap akibat serangan Israel di Gaza. Ia menjadi saksi bisu sejarah yang menunjukkan betapa rapuhnya kehidupan manusia di tengah konflik.
