

Teknologi Baru untuk Pilot Atasi Disorientasi Spasial saat Terbang
Para peneliti dari University of Maryland tengah mengembangkan teknologi baru yang bertujuan membantu pilot menghindari disorientasi spasial saat terbang. Dalam dunia penerbangan, disorientasi spasial terjadi ketika pilot kehilangan kemampuan untuk mengenali posisi mereka atau menilai gerakan secara akurat. Kondisi ini kerap dipicu oleh cuaca buruk dan visibilitas yang rendah.
Menurut Federal Aviation Administration (FAA), disorientasi pilot menyebabkan sekitar 5–10 persen kecelakaan penerbangan umum, dan 90 persen di antaranya berujung fatal. Disorientasi ini diyakini turut berkontribusi pada kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa John F. Kennedy Jr. dan istrinya Caroline Kennedy, serta bintang NBA Kobe Bryant.
Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti sedang menguji penggunaan getaran pada rompi atau pakaian khusus yang dikenakan pilot—bahkan kemungkinan juga dari kursi pesawat. Sistem ini bekerja serupa dengan fitur peringatan keluar jalur yang kini banyak dipasang pada mobil modern.
“Secara umum, pilot mengandalkan dua isyarat sensorik utama saat terbang, yaitu penglihatan dan keseimbangan,” ujar Umberto Saetti, profesor sekaligus peneliti utama, dalam wawancaranya dengan CBS News. “Pakaian ini pada dasarnya menambahkan satu isyarat sensorik tambahan guna membantu menyelesaikan konflik antara apa yang ditampilkan oleh instrumen dan apa yang dirasakan pilot.”
Dalam video dokumentasi penelitian tersebut, Michael Marcos, asisten peneliti pascasarjana, menjelaskan bahwa timnya memilih untuk mengeksplorasi sistem berbasis getaran karena sinyal sentuhan (haptik) dapat diproses lebih cepat oleh otak dibandingkan isyarat visual atau suara. Video tersebut memperlihatkan bagaimana sistem haptik eksperimental ini diuji coba oleh para pilot menggunakan simulator penerbangan. “Bayangkan pesawat miring ke kanan padahal seharusnya tidak. Dengan demikian, sang pilot akan merasakan getaran di bahu kiri sebagai sinyal bahwa mereka harus kembali mengoreksi arah ke kiri. Jika kemiringan ke kanan cukup tajam, maka getaran yang dirasakan juga akan lebih kuat,” ujar Saetti.
Hasil awal dari simulasi menunjukkan respons positif dari para pilot. “Yang mengejutkan, pilot ternyata bereaksi lebih cepat saat menggunakan umpan balik haptik dibandingkan hanya mengandalkan penglihatan,” kata Saetti.
“Ketika terbang di malam hari atau menembus awan, mereka bergantung pada sinyal getaran untuk menjaga ketinggian. Mendengar langsung dari pilot bahwa mereka tak lagi bergantung pada penglihatan untuk menerbangkan pesawat adalah hal yang mengejutkan sekaligus membahagiakan karena itu berarti pendekatan kami benar-benar bermanfaat,” pungkas Saetti.
Baca juga: Anjing Buta Bisa Miliki Kesadaran Spasial Berkat Rompi Haptik
