Default Title
logo spatial highlights
Peran Geospasial dalam Upaya ATR/BPN Menjaga Sawah Produktif dari Alih Fungsi Lahan

Peran Geospasial dalam Upaya ATR/BPN Menjaga Sawah Produktif dari Alih Fungsi Lahan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, kembali menegaskan komitmennya dalam menjaga lahan pertanian produktif dari ancaman alih fungsi. Pernyataan itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam acara #DemiIndonesia, Wujudkan Asta Cita yang diselenggarakan oleh Detikcom di Menara Bank Mega, Jakarta, pada Selasa, 26 Agustus 2025.

Dalam kesempatan tersebut, Nusron menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dengan upaya menjaga ketahanan pangan nasional. “Ketahanan pangan butuh sawah, sementara pembangunan industri maupun perumahan juga mencari lahan yang murah, yang biasanya adalah sawah. Tugas saya sebagai Menteri ATR/Kepala BPN adalah menahan laju alih fungsi lahan supaya sawah-sawah tidak berubah menjadi kawasan industri, perumahan, atau menjadi konflik sosial,” tegasnya.

Menurut Nusron, sawah produktif yang masuk dalam kategori Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) tidak boleh dialihfungsikan begitu saja. Jika pun terpaksa dilakukan penggantian, maka lahan baru harus memiliki tingkat produktivitas yang sama, bukan hanya sekadar menyamai luasannya. “Kalau sawah menghasilkan 20 ribu ton dalam setahun, maka lahan penggantinya harus setara produktivitasnya, yakni 20 ribu ton juga, dan bukan sekadar sama luasnya,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa hal ini mendesak untuk dilakukan karena data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 mencatat adanya penyusutan lahan sawah di Indonesia yang mencapai 60.000–80.000 hektare per tahun. Menurutnya, jika tren ini terus berlanjut, maka ancaman terhadap ketahanan pangan nasional makin nyata. “Ketahanan pangan butuh sawah. Seumur hidup harus ada sawah. Tidak boleh digeser jadi apa pun,” terang Menteri Nusron.

Peran Geospasial

Alih fungsi lahan pertanian di Indonesia bukan hanya soal berkurangnya luas sawah dari tahun ke tahun, melainkan juga menyangkut lokasi dan kualitas lahan yang hilang. Di sinilah, aspek geospasial memainkan peran penting. Dengan pendekatan berbasis teknologi geospasial, Kementerian ATR/BPN mampu memantau secara lebih tepat guna keberadaan sawah produktif yang harus dilindungi.

Melalui sistem geospasial, lahan yang masuk kategori Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dapat ditandai secara digital dan divisualisasikan dalam peta digital. Tidak hanya itu, data spasial juga memungkinkan pemerintah mendeteksi perubahan fungsi lahan dari waktu ke waktu. Pemantauan ini bisa dilakukan hampir secara real-time sehingga setiap pelanggaran aturan alih fungsi dapat segera direspons.

Pendekatan geospasial juga bermanfaat untuk mengukur produktivitas lahan secara lebih akurat. Informasi lokasi sawah dapat dihubungkan dengan data hasil panen, kualitas tanah, dan pola irigasi. Dengan begitu, ketika ada lahan yang harus diganti, pemerintah dapat memastikan bahwa produktivitas lahan pengganti benar-benar setara, bukan sekadar sama luasnya.

Lebih jauh, integrasi data spasial dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) memberi landasan bagi kebijakan yang lebih berkelanjutan. Kawasan industri dapat diarahkan ke lahan yang kurang subur, sementara sawah produktif tetap dipertahankan. Peta digital yang terbuka juga membantu mencegah konflik sosial karena masyarakat dapat mengetahui secara jelas status lahan di lingkungannya tanpa tumpang tindih klaim.

+
+