

Patahan Sagaing Bergerak 4 Meter, Bukti Visual Pertama Surface Rupture Gempa Myanmar 2025
Pada 28 Maret 2025, Myanmar diguncang gempa bumi dahsyat berkekuatan Magnitudo 7,7. Gempa terjadi di sepanjang Patahan Sagaing, salah satu patahan aktif utama di Asia Tenggara, pada kedalaman sekitar 10 kilometer. Gempa tersebut memicu kerusakan hebat di wilayah Mandalay dan sekitarnya. Lebih dari 5.400 jiwa dilaporkan meninggal dunia, 11.000 orang luka-luka, serta 549 orang lainnya masih dinyatakan hilang.
Tak hanya di Myanmar, getaran gempa ini juga dirasakan kuat di negara-negara tetangga, seperti Bangladesh, India, Thailand, Vietnam, hingga Laos. Gempa tersebut memicu surface rupture atau pergeseran permukaan sepanjang lebih dari 460 kilometer, menjadikannya salah satu gempa yang menyebabkan ruptur terpanjang dalam sejarah wilayah ini.
Jadi Rekaman Pertama di Dunia
Selain menimbulkan kerusakan struktural yang masif, gempa ini juga mencatatkan sejarah dalam dunia geologi karena untuk pertama kalinya pergerakan patahan saat gempa berhasil direkam secara langsung oleh kamera. Rekaman fenomenal tersebut diunggah oleh Htin Aung melalui akun Facebook pribadinya dan segera menyebar luas di media sosial dan komunitas geosains global. Video yang diambil di Thapyay Wa Solar Farm, sebuah fasilitas tenaga surya yang berada di antara kota Meiktila dan Wundwin, menampilkan detik-detik pergerakan tanah secara horizontal akibat pergeseran patahan aktif.
Dalam rekaman itu, tampak jelas bagaimana permukaan tanah yang semula menyatu tiba-tiba terbelah dan bergeser sekitar 3 hingga 4 meter secara lateral. Kejadian ini dikenal sebagai surface faulting, yakni saat patahan di bawah tanah menjalar hingga ke permukaan dan menggeser struktur di atasnya. Peristiwa ini sangat jarang terekam secara langsung, dan hingga kini dianggap sebagai bukti visual pertama di dunia yang memperlihatkan pergerakan patahan saat gempa secara real-time.
Dampak yang Disebabkan oleh Patahan Sagaing
Analisis geospasial dari fenomena ini segera dilakukan oleh lembaga ilmiah internasional. United States Geological Survey (USGS), bekerja sama dengan badan-badan penginderaan jauh. Mereka menggunakan citra satelit Sentinel-2 untuk melakukan teknik pixel offset tracking. Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah Thapyay Wa mengalami pergeseran horizontal sekitar 3,8 meter. Data ini konsisten dengan observasi lapangan yang mencatat pergeseran kasar mencapai 12 kaki atau sekitar 4 meter. Sentinel-2, yang memiliki resolusi spasial tinggi dan kemampuan akuisisi gambar multitemporal, memungkinkan deteksi perubahan posisi permukaan bumi sebelum dan sesudah gempa dengan akurasi tinggi.
Selain itu, gempa bumi yang terjadi di Myanmar tersebut merupakan contoh nyata dari fenomena supershear rupture, di mana kecepatan penjalaran patahan melebihi kecepatan gelombang geser (shear wave) di batuan sekitarnya. Fenomena ini menyebabkan pelepasan energi yang lebih besar dan menjalar lebih jauh dengan intensitas yang lebih tinggi.
Menurut laporan dari Reuters, gempa berkekuatan Magnitudo 7.7 ini menghasilkan ruptur permukaan sepanjang lebih dari 460 kilometer, sekitar dua kali lebih panjang dari gempa dengan kekuatan sebesar ini. Data dari U.S. Geological Survey menunjukkan bahwa pergeseran permukaan mencapai sekitar 5 meter di berbagai lokasi sepanjang Patahan Sagaing.
Fenomena supershear rupture ini menjelaskan mengapa gempa tersebut dirasakan sangat kuat meskipun jarak dari episentrum cukup jauh. Penyebaran energi yang luar biasa besar tersebut, menjelaskan kenapa gempa di Myanmar menyebabkan getaran dan kerusakan hingga ke negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Vietnam.
Sumber Edukasi Mitigasi Bencana
Rekaman dan data geospasial ini berimplikasi besar bagi upaya mitigasi bencana. Dengan melihat pergeseran tanah secara nyata dan mengukurnya melalui citra satelit, para ahli dapat menyusun model-model seismik yang lebih akurat. Pemerintah dan otoritas perencanaan wilayah di kawasan aktif secara tektonik, seperti Asia Tenggara, perlu menjadikan rekaman gempa ini sebagai landasan melakukan studi dalam merancang kota dan infrastruktur.
Hal ini menjadi bukti bahwa manusia selalu bisa belajar dari sebuah bencana kemanusian. Rekaman langsung pergerakan patahan dan konfirmasi deformasi melalui citra satelit menunjukkan bahwa integrasi antara observasi lapangan, rekaman visual, dan analisis geospasial dapat mengubah cara kita memahami dan mengantisipasi bencana. Dengan memperluas jangkauan pemetaan risiko berdasarkan data faktual seperti ini, kita bisa menyusun strategi mitigasi yang lebih adaptif dan responsif terhadap ancaman gempa bumi di masa mendatang.
Sumber: gempa.dunia nasa reuters