

Menilik Rencana Pemekaran Provinsi Jawa Selatan dari Kacamata Geospasial
Wacana pemekaran wilayah di Indonesia bukanlah hal baru. Dalam dinamika pembangunan nasional, pembentukan provinsi baru sering kali dianggap sebagai solusi atas ketimpangan pembangunan, kesenjangan pelayanan publik, dan upaya mendekatkan pusat pemerintahan kepada masyarakat. Salah satu rencana yang kini mengemuka adalah pemekaran wilayah selatan Jawa Tengah menjadi provinsi tersendiri yang disebut sebagai Provinsi Jawa Selatan (Jasela).
Namun, pemekaran bukan hanya soal membagi wilayah administratif. Di balik garis batas yang digambar di atas peta, terdapat dimensi geospasial yang kompleks dan menentukan karakteristik fisik, sosial, ekonomi, dan infrastruktur suatu wilayah saling berkait dalam ruang. Oleh karena itu, penting untuk menelaah rencana pemekaran ini melalui pendekatan geospasial yang menggabungkan analisis keruangan, data spasial, serta pemetaan potensi dan tantangan wilayah secara objektif dan terukur dari wacana tersebut.
Kenapa Harus Ada Jasela?
Secara geospasial, wilayah yang diusulkan untuk membentuk Jasela mencakup kawasan selatan Provinsi Jawa Tengah yang selama ini dikenal sebagai wilayah eks-Karesidenan Banyumas dan Kedu. Wilayah ini terdiri atas sembilan kabupaten, yakni Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Temanggung, dan Magelang. Secara topografi, kawasan ini mencerminkan kekayaan bentang alam yang beragam, mulai dari pegunungan di sisi utara dan tengah, seperti Dataran Tinggi Dieng dan Pegunungan Serayu Selatan, hingga garis pantai yang panjang membentang di Kabupaten Cilacap, Kebumen, dan Purworejo.
Karakter geografis tersebut bukan hanya membentuk lanskap yang unik, tetapi juga mempengaruhi tata ruang, penggunaan lahan, hingga orientasi ekonomi dan sosial masyarakat. Sebagian besar wilayahnya merupakan daerah agraris dengan lahan pertanian yang subur, didukung oleh keberadaan DAS (Daerah Aliran Sungai) besar, seperti Sungai Serayu dan Sungai Bogowonto. Kawasan ini juga menyimpan potensi geospasial lainnya, seperti kawasan konservasi alam, geothermal, serta potensi wisata geologis dan maritim yang belum tergarap maksimal.
Namun, posisi strategis ini belum sepenuhnya teroptimalkan karena persoalan aksesibilitas. Berdasarkan laporan dari Palpos, infrastruktur transportasi di wilayah selatan Jawa Tengah tergolong tertinggal dibandingkan dengan koridor utara yang dilalui jalur nasional Pantura dan jaringan jalan tol Trans Jawa. Ketiadaan konektivitas jalan tol yang memadai, terbatasnya jalur kereta api, serta keterbatasan pelabuhan dan bandara menjadikan kawasan selatan kurang kompetitif dalam arus logistik dan investasi.
Situasi ini berdampak langsung terhadap distribusi layanan publik dan pertumbuhan ekonomi. Beberapa kabupaten, seperti Banjarnegara dan Purbalingga, masih bergantung pada pusat-pusat layanan di wilayah lain, khususnya Semarang yang secara jarak maupun waktu tempuh tidak efisien. Hal ini menyebabkan disparitas pembangunan, di mana wilayah selatan sering kali tertinggal dari sisi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Dengan adanya pemekaran dan pembentukan Provinsi Jasela, diharapkan akan tercipta pusat pemerintahan yang lebih dekat dan fokus pada wilayah-wilayah tersebut. Dari perspektif tata ruang, hal ini memungkinkan penataan kembali jalur logistik, prioritas pembangunan infrastruktur, serta distribusi layanan publik yang lebih terarah dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Pemerintah daerah baru nantinya dapat memprioritaskan proyek konektivitas, seperti pembangunan jalan lintas selatan (JLS), revitalisasi stasiun dan jalur kereta api, serta pembangunan kawasan ekonomi baru yang sesuai dengan kondisi geospasial masing-masing kabupaten.
Lebih lanjut, pendekatan geospasial dalam perencanaan pemekaran ini sangat penting karena memungkinkan perumusan kebijakan berbasis data spasial dan pemodelan wilayah. Data geospasial dari Badan Informasi Geospasial (BIG) maupun Kementerian ATR/BPN dapat digunakan untuk memetakan zona-zona prioritas pembangunan, kawasan rawan bencana, hingga analisis sebaran penduduk dan aktivitas ekonomi. Hal ini penting mengingat beberapa wilayah di calon Provinsi Jasela termasuk dalam zona rawan gempa dan tsunami, seperti Cilacap dan Kebumen, sehingga aspek mitigasi risiko harus menjadi bagian integral dari desain pembangunan pascapemekaran.
Dikutip dari Palpos.id, potensi ekonomi dari sektor maritim di Jasela diperkirakan mencapai 1,5 triliun dolar AS jika dikelola dengan baik. Jumlah ini sangat besar, berkali-kali lipat melebihi APBN 2024 yang sebesar 171,5 miliar dolar AS.
Dengan kata lain, pemekaran Jasela bukan hanya soal membagi wilayah administratif, melainkan juga merupakan momentum strategis untuk menyusun ulang narasi pembangunan kawasan selatan Jawa Tengah berbasis kekuatan wilayah dan karakteristik geospasialnya. Jika dikelola secara tepat, Provinsi Jasela dapat menjadi wilayah baru yang mandiri secara administratif sekaligus tangguh secara geografis, konektif secara regional, dan inklusif dalam pembangunan.
Jasela: Potensi Pemerataan dan Tantangan Tata Ruang Baru
Dari sudut pandang geospasial, rencana pemekaran Jasela menyimpan peluang strategis dalam mendorong pemerataan pembangunan, terutama di wilayah selatan Jawa Tengah yang selama ini tertinggal dalam hal infrastruktur dan layanan publik. Namun, keberhasilan pemekaran Jasela tidak bisa dilepaskan dari tantangan struktural dan institusional yang kompleks.
Pembangunan infrastruktur harus menjadi prioritas awal. Jalan penghubung antarwilayah, akses ke layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, serta jaringan telekomunikasi harus ditingkatkan agar Jasela benar-benar terintegrasi secara spasial dan sosial. Tanpa konektivitas yang baik, potensi ekonomi wilayah ini akan tetap terhambat, dan pemekaran justru bisa menjadi beban baru bagi negara.
Selain itu, koordinasi antarlembaga juga menjadi kunci. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten yang akan tergabung dalam Jasela harus memiliki kesepahaman dalam hal pembagian kewenangan. Tanpa perencanaan lintas sektoral dan berbasis data, pemekaran wilayah berisiko menimbulkan disorganisasi dan konflik tata kelola.
Jika seluruh proses dirancang dengan pendekatan geospasial dan kolaboratif, Provinsi Jasela dapat menjadi preseden positif dalam praktik pemekaran daerah di Indonesia. Wilayah ini bisa menjadi contoh bagaimana data geospasial dapat digunakan untuk merumuskan strategi pembangunan wilayah secara presisi, adil, dan berkelanjutan.
Sumber: musianapedia disway