Default Title
logo spatial highlights
Peran Geospasial dalam Konservasi Kekah di Natuna

Peran Geospasial dalam Konservasi Kekah di Natuna

Pemerintah Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau menetapkan kawasan seluas 39,4 hektare di Kecamatan Bunguran Tengah sebagai Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) untuk konservasi kekah (Presbytis natunae), primata endemik Natuna. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Natuna, Ferizaldi, saat dikonfirmasi dari Natuna pada Senin, 21 Juli 2025, menjelaskan bahwa penetapan dilakukan pada pekan ketiga Juli 2025 melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 100.3.3.2.232 Tahun 2025 tentang Kawasan Taman Keanekaragaman Hayati Konservasi Kekah.

Lahan tersebut dipilih karena dinilai sesuai untuk konservasi kekah. Selain dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Natuna, kawasan tersebut juga memiliki tanaman karet, yang menjadi salah satu jenis tanaman favorit kekah, dan primata ini kerap terlihat di sana.

"Kawasan ini terletak di Jalan Gunung Gundul, Desa Harapan Jaya, Kecamatan Bunguran Tengah, dengan luas wilayah 39,4379 hektare, yang terdiri atas kawasan inti dan kawasan penyangga," jelas Ferizaldi. Ia juga menyebutkan bahwa DLH berencana menugaskan petugas penjaga dan petugas observasi untuk mengelola kawasan tersebut.

Tujuan dari penetapan kawasan konservasi ini adalah untuk mencegah kepunahan kekah dan menjamin keberlangsungan ekosistem yang menopang kehidupannya. Selain itu, konservasi dilakukan untuk melindungi kekayaan alam dan menjaga keseimbangan ekologis secara berkelanjutan.

Ferizaldi mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN), populasi kekah pada tahun 2000 tercatat kurang dari 10.000 ekor dan berstatus vulnerable (VU). Ia menambahkan bahwa jumlah tersebut terus menurun, dan berdasarkan pemantauan terbaru timnya, populasi kekah saat ini diperkirakan tinggal kurang dari 5.000 ekor.

Peran Geospasial

Aspek geospasial memainkan peran penting dalam mendukung upaya konservasi kekah di Natuna, khususnya di kawasan Taman Keanekaragaman Hayati di Kecamatan Bunguran Tengah. Dengan memanfaatkan teknologi geospasial, seperti citra satelit, pemetaan drone, dan sistem informasi geografis (SIG), pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan secara lebih akurat.

Langkah pertama yang dapat dilakukan melalui pendekatan geospasial adalah mengidentifikasi dan menetapkan batas kawasan konservasi secara presisi. Hal ini memungkinkan pemisahan yang jelas antara kawasan inti dan kawasan penyangga, serta mencegah tumpang tindih dengan wilayah pemukiman atau lahan pertanian. Selain itu, teknologi ini juga berguna untuk memantau perubahan tutupan lahan dari waktu ke waktu. Dengan pemantauan berkala, perubahan vegetasi akibat alih fungsi lahan dapat segera terdeteksi dan ditindaklanjuti sebelum berdampak negatif pada habitat kekah.

Pendekatan geospasial juga dapat membantu dalam memetakan habitat favorit kekah, seperti area yang banyak ditumbuhi pohon karet, serta jalur pergerakan mereka di dalam kawasan. Data lapangan yang diperoleh melalui pelacakan GPS atau kamera jebakan dapat dipetakan untuk memahami pola sebaran kekah dan memastikan kawasan konservasi mencakup seluruh area penting bagi kelangsungan hidupnya. Dari hasil analisis ini, pemerintah dapat menyusun koridor ekologis untuk menghindari fragmentasi populasi.

Pemantauan populasi kekah juga menjadi lebih efektif dengan bantuan teknologi geospasial. Setiap hasil pengamatan lapangan, seperti lokasi penampakan atau sarang kekah, dapat dicatat dalam sistem basis data dan divisualisasikan dalam bentuk peta distribusi populasi. Dengan cara ini, tren penurunan atau peningkatan jumlah kekah dapat terlihat secara geografis sehingga memudahkan pengambilan keputusan konservasi. Pemanfaatan teknologi geospasial memungkinkan pelestarian alam menjadi lebih terukur, efisien, dan berkelanjutan.

Sumber: Clark University, ANTARA, Beritaaja.com

+
+