Default Title
logo spatial highlights
Menelaah Ambruknya Ponpes Al Khoziny Lewat Kacamata Geospasial: Antara Cacat Struktur atau Risiko Kebencanaan?

Menelaah Ambruknya Ponpes Al Khoziny Lewat Kacamata Geospasial: Antara Cacat Struktur atau Risiko Kebencanaan?

Disclaimer: Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para korban dan keluarga yang ditinggalkan, artikel ini ditujukan untuk memberikan sudut pandang lain agar dapat dijadikan pelajaran yang berharga bagi semua pihak.

Senin sore, 29 September 2025, langit Sidoarjo yang biasanya teduh berubah muram oleh kabar duka. Bangunan asrama putra Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran ambruk saat para santri tengah menunaikan salat Asar berjamaah di lantai dua yang difungsikan sebagai musala. Guncangan terasa sesaat sebelum bagian ujung musala runtuh, diikuti robohnya keseluruhan struktur tiga lantai tersebut dalam hitungan detik. Suara takbir berganti teriakan panik, sementara debu dan puing menutup pandangan. Hingga 6 Oktober 2025, jumlah korban jiwa tercatat lima orang, lebih dari seratus lainnya mengalami luka-luka, dan puluhan santri masih terperangkap di antara reruntuhan.

Namun di balik tragedi itu, muncul pertanyaan mendasar yang tak bisa diabaikan. Apakah ambruknya bangunan ini murni akibat cacat struktur, atau terdapat faktor kebencanaan yang turut mempercepat kehancurannya?

Bangunan Tanpa Legalitas Jadi Titik Awal Kebencanaan

Hasil investigasi awal menunjukkan bahwa bangunan musala tiga lantai di Ponpes Al Khoziny tidak memiliki izin resmi pembangunan. Dilansir dari Kompas.com, Bupati Sidoarjo, Subandi, menegaskan bahwa gedung tersebut tidak mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), yang kini menggantikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Secara teknis, bangunan ini merupakan struktur lama yang ditinggikan tanpa kajian struktural yang memadai, dan lantai ketiganya baru saja dicor beberapa jam sebelum peristiwa nahas terjadi. Fakta ini memperlihatkan lemahnya pengawasan dan kesadaran akan pentingnya izin sebagai bagian dari sistem keselamatan konstruksi. Di kawasan padat seperti Buduran, aktivitas pembangunan yang berjalan tanpa pengawasan teknis sering kali menjadi celah fatal, di mana efisiensi pengerjaan lebih diutamakan dibanding prinsip keamanan dan ketahanan struktur.

Namun, ketiadaan izin bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan juga persoalan mendasar yang terkait dengan tata ruang dan keselamatan spasial. Dari sudut pandang geospasial, izin bangunan merupakan instrumen yang memastikan kesesuaian antara lokasi, karakteristik tanah, dan fungsi bangunan. Tanpa izin, tidak ada proses verifikasi terhadap kondisi lahan, daya dukung tanah, maupun potensi bahaya lingkungan di sekitar lokasi pembangunan. Ketika fondasi berdiri di atas tanah yang belum terverifikasi kelayakannya, risiko teknis meningkat, mulai dari amblesan, retakan, hingga kegagalan struktur total.

Baca juga: Bangunan Ponpes Roboh Akibat Kegagalan Struktur Bangunan, Ini Hal yang Harus Diperhatikan

Image 1

Masalah pada Struktur Bangunan

Hasil analisis dari tim SAR gabungan dan para ahli struktur dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengungkap bahwa penyebab utama ambruknya bangunan asrama Ponpes Al Khoziny adalah kegagalan konstruksi. Jenis keruntuhan yang terjadi dikenal sebagai pancake collapse, yakni kondisi di mana lantai-lantai bangunan runtuh secara vertikal dan menumpuk satu sama lain seperti tumpukan panekuk. Pola ini menandakan adanya kelemahan serius pada sistem penopang internal, yang diperparah oleh beban berlebih di luar kapasitas rencana. Dalam konteks ini, setiap lantai yang roboh menekan lantai di bawahnya, menciptakan efek berantai yang sangat mematikan dan menyulitkan proses evakuasi.

Dilansir dari tirto.id, menurut Andri Setiawan, peneliti struktur dari Technical University of Valencia, terdapat dua faktor utama yang sering menjadi pemicu kasus serupa: kegagalan sistem fondasi dan kesalahan pada sistem penopang sementara (shoring system). Pada bangunan Al Khoziny, indikasi awal menunjukkan adanya penambahan lantai tanpa dilakukan evaluasi ulang terhadap desain awal, yang menyebabkan beban vertikal menjadi berlebihan atau overloading condition. Beban tambahan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas fondasi sehingga struktur bawah tidak mampu menahan tekanan baru yang muncul akibat perubahan konfigurasi bangunan.

Selain itu, besar kemungkinan kegagalan terjadi pada sistem penopang saat proses pengecoran berlangsung. Beton basah yang belum mengeras seharusnya ditopang oleh perancah yang kuat dan stabil. Namun, jika salah satu titik penopang patah, maka distribusi beban menjadi tidak seimbang. Kegagalan di satu titik kritis dapat menjalar ke area lain, menciptakan efek domino yang menjatuhkan seluruh struktur secara beruntun. Kesalahan perhitungan dalam menentukan dimensi balok dan kolom, penggunaan bahan bangunan di bawah standar, serta pengerjaan lapangan yang tidak sesuai spesifikasi teknik makin mempercepat terjadinya keruntuhan. Semua elemen tersebut membentuk gambaran klasik dari kegagalan sistemik dalam manajemen konstruksi.

Apa yang Bisa Dilakukan oleh Teknologi Geospasial?

Teknologi geospasial membuka peluang besar dalam memahami dan menganalisis bencana konstruksi secara menyeluruh. Melalui fotogrametri dan pemetaan drone, sebaran puing dan arah keruntuhan dapat direkonstruksi menjadi model tiga dimensi yang presisi. Hasil pemetaan ini memungkinkan para ahli struktur dan penyelamat mengidentifikasi titik awal kegagalan, arah gaya yang menyebabkan runtuhnya bangunan, hingga area paling berisiko bagi korban yang tertimbun. Lebih jauh, data spasial semacam ini juga dapat dikombinasikan dengan citra satelit dan model digital untuk mengaitkan faktor lokal, seperti jenis tanah, ketinggian, dan kondisi lingkungan sekitar terhadap penyebab teknis keruntuhan.

Namun, manfaat teknologi geospasial tak berhenti di tahap investigasi. Informasi hasil pemetaan dapat menjadi pijakan dalam kebijakan mitigasi risiko dan penataan ruang yang lebih tangguh. Pemerintah daerah, misalnya, dapat menggunakan data geospasial untuk meninjau kembali izin pembangunan di kawasan berisiko tinggi atau mengintegrasikannya dalam sistem peringatan dini bangunan rawan ambruk. Dengan begitu, geospasial tidak sekadar menjadi alat analisis pascabencana, tetapi juga sarana pencegahan yang mampu menjembatani sains, kebijakan, dan keselamatan publik.

Geospasial sebagai Alat Mitigasi dan Pembuktian

Tragedi ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny membuka mata banyak pihak bahwa keselamatan bangunan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan struktur, tetapi juga oleh pemahaman terhadap konteks ruang tempat bangunan berdiri. Dalam hal ini, teknologi geospasial berperan penting bukan hanya sebagai alat investigasi, melainkan juga sebagai instrumen mitigasi dan pembuktian. Melalui analisis berbasis data spasial, mulai dari pemetaan tanah, zonasi risiko, hingga rekonstruksi keruntuhan, geospasial mampu menelusuri rantai sebab-akibat yang menghubungkan aspek teknis, legalitas, dan kondisi lingkungan.

Lebih jauh, teknologi ini dapat digunakan untuk membangun sistem peringatan dini dan perencanaan pembangunan yang berbasis bukti. Pemerintah daerah dan otoritas teknis dapat memanfaatkan data geospasial untuk memastikan kesesuaian lahan sebelum pembangunan dilakukan, serta menindaklanjuti setiap pelanggaran izin dengan dasar bukti yang kuat. Dengan demikian, geospasial bukan sekadar alat pemetaan, melainkan juga penjaga rasional ruang dan keselamatan manusia, sebuah fondasi yang menjadikan setiap pembangunan tidak hanya berdiri kokoh secara fisik, tetapi juga berkelanjutan secara spasial dan moral.

+
+