

Melihat dari Kacamata Geospasial, Empat Pulau yang Jadi Polemik Aceh–Sumatera Utara
Konflik administratif antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas akibat keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar), Mangkir Ketek (Mangkir Kecil), Lipan, dan Panjang sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara. Keputusan ini mendapat penolakan keras dari Pemerintah Aceh, yang bersikukuh mempertahankan klaim atas keempat pulau tersebut dengan menyodorkan bukti dokumenter dan data geospasial. Polemik ini tak sekadar mempersoalkan batas administratif, tetapi juga menyentuh aspek geopolitik dan potensi sumber daya alam di wilayah sengketa.
Polemik ini bermula dari proses verifikasi nasional terhadap pulau-pulau kecil yang dilakukan sejak 2008 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Tim ini terdiri atas unsur Kemendagri, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Informasi Geospasial (BIG, dulunya Bakosurtanal), TNI AL dan AD, serta pemerintah daerah. Hasil verifikasi mencatat ada 213 pulau di Sumatera Utara, termasuk empat pulau yang disengketakan. Penetapan tersebut kemudian dikukuhkan lewat surat Gubernur Sumut Nomor 125/8199 pada 23 Oktober 2009.
Di sisi lain, verifikasi Pemerintah Aceh mencatat 260 pulau, namun nama keempat pulau yang diperdebatkan tidak tercantum secara eksplisit dalam dokumen mereka. Surat Gubernur Aceh Nomor 125/63033 tertanggal 4 November 2009 menyebutkan nama-nama pulau serupa, tetapi dengan nomenklatur dan koordinat yang berbeda.
Rangit Besar disebut sebagai Mangkir Besar, Rangit Kecil menjadi Mangkir Kecil, Malelo disebut Lipan, dan Panjang tetap. Rangkaian verifikasi ini berlanjut hingga 2017 dan akhirnya, melalui rapat kolaboratif bersama berbagai lembaga pusat pada 2020, keempat pulau secara resmi ditetapkan sebagai bagian dari Sumut. Penetapan ini kemudian difinalisasi melalui Kepmendagri tahun 2022 dan ditegaskan kembali dalam Kepmendagri No. 300.2.2‑2138/2025.
Pertanyaannya, mengapa konflik ini muncul meski proses verifikasi telah dilakukan sejak lama dan melibatkan banyak lembaga teknis nasional?
Kenapa Empat Pulau Ini Jadi Rebutan?
Salah satu titik krusial dalam sengketa ini terletak pada ketidaksesuaian data koordinat antara dokumen Pemerintah Aceh dan data SIG milik pusat. Dirjen Bina Administrasi Wilayah Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menyatakan bahwa perbedaan data koordinat inilah yang menjadi akar konflik. BIG mengonfirmasi bahwa posisi keempat pulau dalam catatan Aceh tidak sesuai dengan hasil verifikasi nasional.
Dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dan citra satelit, pemerintah pusat menunjukkan bahwa posisi keempat pulau tersebut lebih dekat ke garis pantai Tapanuli Tengah daripada ke wilayah Aceh Singkil. Meskipun demikian, Pemerintah Aceh tetap mengajukan bukti fisik berupa dermaga, musala, tugu koordinat tahun 2012, dan bahkan dokumen kepemilikan tanah yang tercatat sejak 1965 sebagai dasar klaim.
Dokumen hasil verifikasi nasional ini telah dimasukkan dalam Gazetteer Indonesia tahun 2020 yang juga menjadi basis data wilayah resmi Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2012. Dalam peta tersebut, keempat pulau secara administratif diakui sebagai bagian dari Sumatera Utara. Kemendagri dan BIG juga menyatakan bahwa batas darat antara Aceh dan Sumut sudah disepakati, namun batas laut belum sepenuhnya ditetapkan. Oleh karena itu, penguasaan administratif atas wilayah ini sementara berada dalam kewenangan pemerintah pusat melalui keputusan Mendagri.
Penolakan dari Aceh tidak surut. Sekretaris Daerah Aceh, Syakir, menyatakan bahwa pemerintah provinsi tetap mempertahankan klaim atas keempat pulau tersebut. Aceh mengajukan bukti tambahan berupa infrastruktur di lapangan, dokumen agraria sejak 1965, serta peta batas laut hasil kesepakatan verbal tahun 1992 yang menunjukkan keempat pulau masuk wilayah Aceh. Bahkan, Aceh mengirimkan beberapa somasi serta permintaan revisi koordinat kepada Kemendagri pada tahun 2019 dan 2020 sebagai upaya penyelesaian administratif.
Dari sudut pandang geospasial, letak geografis keempat pulau tersebut berada di wilayah laut lepas antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah. Berdasarkan analisis citra satelit dan hasil plotting SIG yang digunakan oleh Kemendagri, jarak keempat pulau dari garis pantai Tapanuli Tengah berkisar antara 5 hingga 10 kilometer, sementara jaraknya dari Aceh Singkil lebih jauh. Dalam kajian ini, dua indikator utama yang digunakan adalah kedekatan geografis dan topologi. Kedua indikator ini menunjukkan bahwa keempat pulau lebih berorientasi secara administratif ke Sumatera Utara dibandingkan ke Aceh.
Keputusan Kemendagri tersebut bersifat definitif dalam kerangka hukum administrasi negara. Namun demikian, pemerintah pusat membuka ruang penyelesaian melalui jalur hukum. Kemendagri menyatakan siap menyesuaikan penetapan jika terdapat keputusan pengadilan yang membatalkan atau merevisi keputusan tersebut. Secara hukum tata negara, konflik batas wilayah administratif bisa diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
Aceh sendiri telah menempuh jalur somasi dan tengah menyiapkan dokumen pembanding yang relevan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menekankan bahwa kejelasan batas wilayah sangat penting untuk keperluan penganggaran dana desa, perencanaan spasial, dan pengawasan keuangan negara. Dalam konteks nasional, kasus ini mencerminkan kompleksitas persoalan batas wilayah laut serta bagaimana sengketa administratif dapat berkelindan dengan kepentingan ekonomi dan sumber daya.
Pentingnya Data Geospasial yang Akurat dan Transparan
Dari sisi geospasial, keputusan Kemendagri didasarkan pada data yang relatif kuat dan modern meskipun Pemerintah Aceh tetap menyoroti aspek historis yang belum terakomodasi. Oleh karena itu, langkah ideal ke depan adalah melakukan verifikasi ulang secara independen dengan teknologi mutakhir, seperti LiDAR atau citra resolusi tinggi yang dapat diaudit oleh lembaga internasional.
Alternatif lainnya adalah mediasi teknis antara BIG, Pemerintah Aceh, dan Sumut untuk menciptakan semacam “zona transisi administratif” sembari menunggu penyelesaian hukum tetap. Proses ini juga harus disertai dengan pelibatan publik, serta pembakuan sistem pemetaan digital terbuka agar sengketa serupa tidak terulang di daerah lain.
Polemik empat pulau ini menegaskan pentingnya data geospasial yang akurat dan transparan sebagai dasar penetapan batas wilayah. Konflik Aceh–Sumatera Utara bukan semata-mata perebutan wilayah administratif, melainkan juga menyentuh persoalan identitas, potensi ekonomi seperti migas, serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemetaan nasional.
Oleh karena itu, penyelesaian polemik ini perlu diarahkan bukan pada tarik-menarik klaim sepihak, tetapi pada pembuktian objektif berbasis sains geospasial dan hukum yang berkelanjutan. Hanya dengan cara inilah, konflik dapat diselesaikan secara adil dan berbasis data.