Default Title
logo spatial highlights
Konflik Ambalat: Sengketa Batas Laut hingga Upaya Penyelesaian

Konflik Ambalat: Sengketa Batas Laut hingga Upaya Penyelesaian

Isu sengketa Blok Ambalat kembali mencuat sejak ketegangan Indonesia-Malaysia pada 2005 silam. Sengketa ini berakar dari persoalan batas maritim antara Indonesia dan Malaysia yang belum tuntas sejak puluhan tahun lalu.

Awalnya, pada 27 Oktober 1969, kedua negara menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen di Laut Sulawesi. Berdasarkan perjanjian itu, wilayah yang kini dikenal sebagai Blok Ambalat berada di dalam yurisdiksi Indonesia. Namun, sepuluh tahun kemudian, Malaysia menerbitkan peta maritim versi 1979 yang secara sepihak memasukkan Ambalat ke dalam wilayahnya. Langkah ini segera ditolak oleh Indonesia karena dianggap melanggar kesepakatan sebelumnya.

Pakar geospasial dan batas maritim dari Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana, mengatakan bahwa batas tersebut berhenti di tepi pantai dan tidak diteruskan ke laut. Dengan demikian, pembagian ruang laut yang merentang ke Laut Sulawesi belum final.

Awalnya, menurut Andi, Indonesia berpandangan bahwa garis batas darat tersebut semestinya diteruskan ke arah timur pada lintang 4 derajat 10 menit sehingga semua yang berada di sebelah selatan garis itu menjadi milik Indonesia. "Namun, ini hanya keinginan Indonesia, bukan kesepakatan dengan Malaysia," ujarnya.

Dengan mengabaikan klaim Malaysia, menurut Andi, Indonesia menetapkan blok-blok lain seperti Sebawang dan Bukat, kemudian pada 1999 menetapkan Blok Ambalat dan pada 2004 Blok Ambalat Timur. Blok-blok tersebut terbuka untuk eksplorasi sumber daya maritim.

Ketegangan di Blok Ambalat makin tajam setelah Malaysia menetapkan blok konsesi ND6 dan ND7, yang wilayahnya tumpang tindih dengan Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang telah ditetapkan Indonesia. “Menurut Indonesia, kedua pulau kecil itu (Pulau Sipadan dan Ligitan) hanya berhak atas laut teritorial 12 mil," ujar Andi.

Baca juga: Mampukah Geospasial Jadi Jalan Damai untuk Sengketa Ambalat?

Upaya Penyelesaian

Sejak 2005, Indonesia dan Malaysia telah menggelar 43 putaran perundingan bilateral mengenai Ambalat, sebagaimana dicatat Kementerian Luar Negeri RI. Namun, hingga kini, pembicaraan tersebut belum mencapai kesepakatan final. Dalam situasi ini, muncul rencana pengelolaan bersama Blok Ambalat yang dinilai sebagai babak baru yang dapat memberi dorongan positif bagi upaya penyelesaian sengketa perbatasan maritim di kawasan tersebut.

Pakar hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai langkah tersebut memberikan kepastian hukum bagi investor internasional yang berminat mengeksplorasi potensi migas Ambalat, sekaligus menjadi bukti bahwa solidaritas ASEAN mampu mewujudkan visi jangka panjang. “Joint development melambangkan iktikad baik kedua negara untuk sebuah penyelesaian atas kawasan yang dipersengketakan, demi manfaat kedua negara, dan dirancang sesuai dengan hukum internasional yang berlaku,” terang Reza.

Reza menambahkan bahwa keberhasilan rencana ini diharapkan tidak membuat kedua negara lalai menyusun solusi permanen. Dialog perbatasan harus terus berjalan demi mencapai kesepakatan yang mengikat secara hukum.

Andi juga mengingatkan bahwa kesepakatan pengelolaan bersama perlu diiringi penetapan batas wilayah yang sah. "Tetap harus ada kesepakatan batas wilayah nantinya, apakah dibagi dua atau Indonesia mendesak Malaysia untuk memiliki wilayah tersebut. Jangan sampai kesepakatan saat ini kemudian dianggap menjadi final," tegasnya.

Jika dapat direalisasikan, pengelolaan bersama ini bisa menjadi contoh bahwa kerja sama ekonomi dapat terus berjalan, meskipun terdapat perbedaan pandangan politik. Bagi Indonesia dan Malaysia, kesepakatan tersebut juga mencerminkan tanggung jawab menjaga perdamaian di Asia Tenggara dan memperkuat solidaritas ASEAN yang selama ini didengungkan.

Namun, dalam perspektif hukum internasional, batas negara tidak berhenti di darat, tetapi juga mencakup wilayah perairan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban setiap negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, untuk menetapkan garis batas yang pasti. Penetapan ini bukan hanya demi kejelasan wilayah kedaulatan politik, tetapi juga untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam sesuai ketentuan hukum internasional yang berlaku.

+
+