Default Title
logo spatial highlights
Mampukah Geospasial Jadi Jalan Damai untuk Sengketa Ambalat?

Mampukah Geospasial Jadi Jalan Damai untuk Sengketa Ambalat?

Ketegangan antara Indonesia dan Malaysia atas Ambalat, wilayah laut strategis yang kaya minyak dan gas di Laut Sulawesi, kembali memuncak pada awal Agustus 2025. Malaysia menolak penyebutan “Blok Ambalat” yang lazim digunakan Indonesia, dan memilih menggantinya dengan istilah Blok ND-6 dan ND-7.

Langkah ini disertai penegasan klaim kedaulatan berdasarkan hukum internasional serta putusan Mahkamah Internasional 2002 yang sebelumnya memenangkan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Bagi Malaysia, nomenklatur ini lebih dari sekadar penamaan, tetapi juga pernyataan politik yang mengukuhkan posisi hukum dan geopolitik mereka di perairan tersebut.

Sementara itu, Indonesia tetap bersikeras mempertahankan hak historis atas Ambalat, dengan argumen bahwa wilayah itu telah dikelola dan diberikan konsesi eksplorasi kepada perusahaan migas internasional, seperti ENI (Italia) dan Unocal (Amerika Serikat), sejak 1999 hingga 2004. Indonesia menilai konsesi tersebut menjadi bukti nyata penguasaan de facto yang memperkuat klaim kedaulatan, sekaligus menunjukkan potensi ekonominya yang signifikan.

Sengketa ini pun kembali menempatkan kedua negara pada persimpangan diplomasi, antara mempertahankan posisi masing-masing atau mencari titik temu baru. Memanasnya hubungan kedua negara, di tengah tarik-menarik kepentingan hukum, sejarah, dan ekonomi ini, memunculkan satu pertanyaan mendasar. Mampukah teknologi geospasial menjadi alat pemecah kebuntuan dengan menyajikan bukti dan peta batas maritim yang disepakati bersama secara ilmiah dan transparan?

Dasar Hukum yang Digunakan Indonesia terkait Ambalat

Sengketa Ambalat tak lepas dari perbedaan dasar hukum yang digunakan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menegaskan klaimnya. Malaysia merujuk pada Peta Baru 1979, yang memasukkan wilayah Blok ND-6 dan ND-7 ke dalam kontinen Sabah. Selain itu, Kuala Lumpur juga menjadikan putusan Mahkamah Internasional tahun 2002, yang memenangkan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan, sebagai landasan tambahan. Putusan tersebut, meski hanya memutuskan status dua pulau, dianggap Malaysia memiliki implikasi langsung terhadap batas kedaulatan di Laut Sulawesi, termasuk area yang dipersengketakan di Ambalat.

Sementara itu, Indonesia memperkuat klaimnya atas Ambalat dengan landasan hukum nasional yang konsisten menegaskan kedaulatan maritim sejak era kemerdekaan. Salah satu pijakan utamanya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957, yang menetapkan prinsip negara kepulauan dan menjadi tonggak pembentukan wilayah perairan nasional. Prinsip ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Prp) No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia, serta Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 yang meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982. Dengan kerangka hukum tersebut, Indonesia menganggap Ambalat sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen yang sah secara hukum internasional.

Penguatan klaim Indonesia juga didukung oleh regulasi teknis mengenai garis pangkal kepulauan yang menjadi acuan perhitungan batas maritim. Hal ini tercermin dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, yang kemudian diperbarui melalui PP No. 37 Tahun 2008. Kedua regulasi ini memiliki fungsi strategis, yakni memberikan legitimasi geospasial yang akurat untuk memetakan batas wilayah laut Indonesia secara resmi. Dengan kombinasi instrumen hukum nasional dan kepatuhan pada hukum laut internasional, Indonesia berupaya mempertahankan posisi tawarnya dalam perundingan Ambalat, meskipun Malaysia mengklaim dasar hukum yang berbeda.

Mengurangi Konflik Ambalat dengan Teknologi Geospasial

Mengurangi ketegangan di Ambalat memerlukan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan diplomasi politik, tetapi juga memanfaatkan teknologi geospasial sebagai alat objektif untuk membaca kondisi di lapangan. Secara geografis, Ambalat terletak di lepas pantai timur Pulau Sebatik, pulau yang unik karena terbagi dua secara administratif, separuh masuk wilayah Indonesia dan separuh lagi milik Malaysia. Posisi geografis ini menjadikan Ambalat wilayah strategis sekaligus rawan sengketa, apalagi kedua negara memiliki peta nasional yang berbeda. Perbedaan peta inilah yang menjadi sumber utama ketegangan dan kerap memunculkan gesekan di wilayah tersebut.

Malaysia, melalui peta nasional tahun 1979, menarik batas lautnya ke arah tenggara dari Pulau Sebatik sehingga Ambalat masuk ke dalam klaim mereka. Sementara, Indonesia menetapkan batas dengan menarik garis paralel, yang kemudian disesuaikan setelah putusan Mahkamah Internasional pada 2002 terkait Pulau Sipadan dan Ligitan. Akibatnya, sebagian wilayah Ambalat berada dalam “zona abu-abu” yang diklaim kedua pihak. Di sinilah, analisis geospasial dapat berperan, misalnya dengan memanfaatkan citra satelit resolusi tinggi, data batimetri (kedalaman laut), dan sistem koordinat yang disepakati bersama. Pendekatan ini bisa membantu memverifikasi batas yang diakui kedua negara, mengurangi bias, dan menciptakan dasar diskusi yang lebih objektif.

Salah satu opsi yang sering dibahas adalah pembentukan zona kerja sama di Ambalat. Skema ini memungkinkan kedua negara mengelola dan membagi hasil sumber daya secara bersama, meskipun batas resmi belum ditetapkan. Model seperti ini telah digunakan di beberapa negara lain untuk menghindari konflik perebutan sumber daya. Dengan peta digital dan data geospasial yang sama-sama disetujui, zona kerja sama dapat dirancang agar menghindari wilayah sensitif dan fokus pada area yang memiliki potensi minyak dan gas terbesar.

Pendekatan ini sejalan dengan pernyataan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Dilansir dari Antara News, Presiden ke-8 Indonesia tersebut menegaskan bahwa penyelesaian harus ditempuh secara damai dan mengutamakan diplomasi, sambil mengakui adanya itikad baik dari kedua pihak untuk meredakan ketegangan. Dengan kombinasi diplomasi dan teknologi geospasial, Ambalat berpotensi berubah dari titik panas menjadi contoh sukses kerja sama lintas batas.

Dari Sengketa Menjadi Kerja Sama

Sengketa Ambalat bukan hanya persoalan batas wilayah di atas peta, melainkan juga menyangkut sejarah, hukum, dan potensi sumber daya alam yang bernilai tinggi. Selama ini, perbedaan pandangan hukum dan interpretasi peta membuat penyelesaiannya sulit dicapai. Namun, kemajuan teknologi geospasial memberi peluang baru untuk menyajikan data yang akurat, transparan, dan bisa diterima kedua pihak sebagai acuan bersama.

Jika teknologi ini dipadukan dengan komitmen politik untuk berdialog dan menghindari konfrontasi, maka peluang untuk mengubah Ambalat dari wilayah sengketa menjadi kawasan kerja sama akan makin besar. Kesuksesan seperti ini tidak hanya akan memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga memperkuat hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia. Pada akhirnya, masa depan Ambalat akan ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk melihat lebih jauh dari sekadar garis batas, dan mulai membangun kepercayaan dengan dasar data dan kemauan bersama.

+
+