Default Title
logo spatial highlights
High-Tech Amerika vs Soft Border Indonesia dalam Penggunaan Teknologi Geospasial di Perbatasan

High-Tech Amerika vs Soft Border Indonesia dalam Penggunaan Teknologi Geospasial di Perbatasan

Pengelolaan batas wilayah merupakan salah satu aspek vital bagi sebuah negara, baik dari segi keamanan maupun pembangunan. Amerika Serikat dan Indonesia memiliki pendekatan berbeda dalam mengelola perbatasannya. Perbedaan ini terlihat jelas pada pemanfaatan teknologi dan strategi yang digunakan.

Pemanfaatkan Geospatial Intelligence (GEOINT) di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) menjadi garda terdepan dalam mendukung keamanan perbatasan. Lembaga ini memanfaatkan teknologi geospasial canggih untuk memantau dan mengantisipasi ancaman. Berbagai perangkat modern digunakan, mulai dari citra satelit, fotografi udara, hingga peta digital resolusi tinggi.

Tidak berhenti di sana, NGA juga mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI), machine learning, sensor generasi terbaru, komputasi awan, serta sistem nirawak (drone) dalam operasi sehari-hari. Dengan dukungan teknologi tersebut, analisis dapat dilakukan secara real-time sehingga aktivitas illegal, seperti penyelundupan obat-obatan atau migrasi tidak resmi, dapat segera diidentifikasi. Sebagai contoh, pada tahun 2024, Customs and Border Protection (CBP) berhasil menyita lebih dari 21.000 pon fentanil, sebuah capaian yang tidak lepas dari dukungan intelijen geospasial.

Secara keseluruhan, sistem yang dijalankan NGA dirancang untuk prediksi, deteksi dini, dan respons cepat terhadap berbagai ancaman lintas batas. Sistem ini berjalan dengan memanfaatkan kekuatan analisis data masif dan teknologi pemantauan mutakhir.

Image 1

Baca juga: 4 Pemanfaatan Geospatial Intelligence Selain Kegunaannya di Medan Perang

Indonesia Implementasikan Penguatan Batas melalui PLBN

Berbeda dengan Amerika Serikat, Indonesia lebih menekankan pendekatan berbasis infrastruktur fisik dan diplomasi dalam pengelolaan perbatasan. Salah satu instrumen utama yang digunakan adalah pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di kawasan Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia. Beberapa PLBN seperti Aruk, Entikong, dan Badau sudah beroperasi, sementara lainnya seperti Jagoi Babang dan Sei Kelik masih dalam proses pengembangan.

Tujuan utama PLBN adalah memfasilitasi lalu lintas orang dan barang secara legal, sekaligus memperkuat kontrol keamanan nasional. Kehadiran pos lintas batas resmi juga memberikan wajah baru dalam pelayanan publik dan menjadi simbol kehadiran negara di kawasan terluar.

Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, teknologi drone mulai diperkenalkan sebagai alat bantu pemantauan wilayah perbatasan yang sulit dijangkau. Penggunaan drone memungkinkan aparat keamanan melakukan patroli udara dengan cakupan lebih luas dan efisien, sekaligus memetakan potensi jalur tikus atau aktivitas ilegal. Integrasi teknologi ini melengkapi fungsi PLBN yang sebelumnya lebih banyak berfokus pada aspek infrastruktur fisik dan pelayanan masyarakat.

Namun, efektivitas PLBN masih menghadapi tantangan. Keberadaan jalur tikus atau lintasan ilegal tetap marak, bahkan di beberapa wilayah jumlahnya meningkat. Untuk menyeimbangkan aspek keamanan dengan pembangunan regional, Indonesia menerapkan konsep soft border, yaitu kombinasi antara keterbukaan dan kontrol. Pendekatan ini juga didukung oleh kerja sama lintas negara melalui forum SOSEKMALINDO yang sudah berjalan sejak 1985, dengan menekankan keamanan, diplomasi, dan kesejahteraan masyarakat perbatasan.

Penelitian dari jurnal IKMAS menyebutkan bahwa dampak positif PLBN dapat dilihat pada Jagoi Babang, di mana indikator sosial dan ekonomi masyarakat lokal meningkat signifikan. Sebelum beroperasi, nilai sosial komunitas berada pada kategori “buruk” (2,84), namun setelah PLBN berjalan nilainya naik menjadi “cukup” (3,97). Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur perbatasan sebagai alat kontrol dan berdampak positif pada masyarakat.

Image 1

Berdasarkan data-data tersebut, perbedaan yang kentara antara Amerika Serikat dan Indonesia adalah melalui pendekatannya. Amerika Serikat mengandalkan teknologi geospasial canggih dengan pendekatan high-tech yang menekankan intelijen, pemantauan real-time, dan respons cepat melalui integrasi satelit, AI, serta drone.

Sementara itu, Indonesia lebih menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur perbatasan, seperti PLBN, diplomasi bilateral, serta pemberdayaan masyarakat lokal. Meski mulai mengadopsi teknologi drone untuk mendukung patroli perbatasan, pendekatan Indonesia cenderung soft border, yang memadukan fungsi keamanan dengan aspek pelayanan publik dan pembangunan wilayah.

+
+