Default Title
logo spatial highlights
Geografi Pariwisata untuk Dukung Pengembangan Ekowisata Kearifan Lokal

Geografi Pariwisata untuk Dukung Pengembangan Ekowisata Kearifan Lokal

Dinamika pembangunan pariwisata yang saat ini makin kompleks menuntut pendekatan lintas disiplin. Oleh karena itu, pendekatan geografi pariwisata hadir sebagai jembatan antara ruang fisik, budaya lokal, dan keberlanjutan lingkungan.

Pengukuhan Prof. Dr. Sunarty Suly Eraku sebagai guru besar di bidang geografi pariwisata pada Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo (UNG) menjadi momen penting yang menegaskan peran strategis ilmu geografi dalam merumuskan arah pembangunan ekowisata berbasis kearifan lokal. Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Geografi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal sebagai Strategi Pembangunan Ekowisata Berkelanjutan di Provinsi Gorontalo”, Prof. Sunarty menekankan bahwa pariwisata bukan hanya aktivitas ekonomi, melainkan juga sebuah proses geografis yang membentuk sekaligus dipengaruhi oleh budaya, ruang, serta memori kolektif masyarakat lokal.

Prof. Sunarty memaparkan bahwa pendekatan geografi pariwisata harus memperhatikan dimensi spasial dan kultural secara holistik. Menurutnya, kearifan lokal tidak hanya merupakan warisan budaya, tetapi juga bagian dari sistem sosial dan ekologis yang mengatur interaksi masyarakat dengan lingkungannya. Oleh karena itu, pelestarian nilai-nilai daerah menjadi fondasi utama dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan, khususnya dalam konteks ekowisata.

Selama lebih dari dua dekade, ia telah melakukan pemetaan terhadap berbagai potensi geowisata di Gorontalo. Wilayah-wilayah seperti Taman Laut Olele, Danau Limboto, kampung adat suku Bajo Torosiaje, hingga situs sejarah Benteng Otanaha menjadi bagian dari riset-risetnya yang mengungkap keterkaitan antara lokasi geografis, narasi budaya, dan potensi wisata. Dalam pandangannya, pembangunan destinasi wisata tidak cukup hanya dengan promosi, tetapi harus dibarengi dengan pelestarian ruang dan pemberdayaan komunitas lokal.

Prof. Sunarty juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas aktor, termasuk pemerintah, akademisi, dan masyarakat setempat, dalam membangun tata kelola pariwisata berbasis tempat (place-based governance). Salah satu contoh suksesnya adalah transformasi Desa Botubarani yang semula merupakan desa nelayan menjadi kawasan wisata hiu paus yang menerapkan prinsip konservasi berbasis masyarakat.

Lebih lanjut, ia memperkenalkan konsep ekowisata integratif yang menggabungkan empat pilar: konservasi lingkungan, pelestarian budaya, edukasi wisata, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Bagi Prof. Sunarty, pendekatan geografis dalam pariwisata juga mencakup pendidikan karakter dan literasi spasial, guna menumbuhkan kesadaran kolektif terhadap pentingnya menjaga ruang hidup dan warisan budaya.

“Geografi pariwisata bukan sekadar teori ruang, tetapi juga alat transformasi sosial yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan praktik kehidupan,” tuturnya dalam orasi yang mendapat apresiasi luas.

Untuk mengakhiri orasinya, Prof. Sunarty menyatakan bahwa jabatan guru besar adalah awal dari komitmen intelektual yang lebih luas untuk membangun pariwisata yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Ia berharap model pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal yang diusungnya dapat menjadikan Gorontalo sebagai percontohan ekowisata unggulan di Asia Tenggara.

Sumber: Hargo.co.id, Go-Pena.id

+
+