Default Title
logo spatial highlights
Dosen Geodesi UGM:  Inovasi Geospasial Tak Bisa Jalan Sendiri

Dosen Geodesi UGM: Inovasi Geospasial Tak Bisa Jalan Sendiri

Dosen Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), Trias Aditya, mengungkapkan bahwa inovasi yang dilakukan oleh mahasiswa di bidang geospasial harus diimbangi kolaborasi dengan pemerintah. “Bagaimana sebenarnya yang paling penting dari data spasial tidak hanya berhenti seperti yang dipelajari di kuliah,” terang Kepala Departemen Teknik Geodesi tersebut dalam acara MAPID Catalyst, Sabtu, 23 Mei 2025 di Gedung TILC Sekolah Vokasi UGM.

MAPID Catalyst adalah acara kolaboratif yang diselenggarakan MAPID dengan menghadirkan berbagai tokoh yang bergerak di bidang geospasial. Dengan mengusung tema “Innovation and Integration in Sustainable Land Transformation”, MAPID ingin menghadirkan diskursus lebih lanjut mengenai transformasi lahan yang berkelanjutan sekaligus inovasi yang bisa ditawarkan.

Trias menyayangkan bahwa selama ini pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan software di lingkup akademik hanya sebatas untuk menyajikan data. Menurutnya, SIG dan software bisa sebagai medium untuk mencari wawasan baru. “Untuk memetakan pola dan kecenderungan tersebut belum jadi hal yang mudah di masyarakat, pemerintah, dan industri,” ujarnya.

Terkait dengan inovasi yang dilakukan oleh akademisi, Trias mengungkapkan bahwa Geodesi UGM telah melakukan inovasi sebelum adanya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). “Kami sudah melakukan yang namanya pemetaan lengkap di Desa Girikerto,” lanjutnya.

Saat itu, menurut Trias, pemerintah telah membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat, tetapi pemerintah tidak memiliki datanya. “Itu kami garap melalui pemetaan partisipatif yang kita namakan forensic cadaster, yang itu tampaknya sekarang ini diadopsi oleh PTSL,” tambahnya.

Meskipun begitu, Trias menyoroti bahwa ada perbedaan yang dihadirkan oleh PTSL. Menurutnya, PTSL memiliki urutan yang salah. “Urutan PTSL salah karena berorientasi pada K1 terlebih dahulu, jadi menyertifikatkan bidang tanah terlebih dahulu,” katanya.

Lebih lanjut, Trias menyoroti alasan mengapa iklim investasi Indonesia sangat tidak kompetitif. Menurutnya, salah satu alasannya adalah waktu yang dibutuhkan untuk memastikan data pertanahan itu sangat lama dan semua survei pemetaan yang diajarkan di kuliah selalu berorientasi pada waktu dan lokasi.

“Contohnya saat pemetaan tanah, pemiliknya harus ada di lokasi, tetangganya harus ada di lokasi, surveyor juga. Kami berpikir bahwa teknologi dan kolaborasi memungkinkan perubahan itu,” terang Trias.

Ia mengatakan bahwa kolaborasi tersebut sudah ia usulkan sejak 2019. Ia pun berharap bahwa tidak lama lagi kolaborasi tersebut akan terjadi. “Istilahnya, perguruan tinggi hanya menciptakan API, nanti implementasinya harus bersama masyarakat. Jadi, long way to go,” pungkasnya.

+
+