
 (1).png)
BIG Mulai Kaji Peta Dasar untuk Wilayah Laut dan Pantai
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi tantangan besar dalam pemetaan wilayah laut dan pesisir. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 108.000 km, kebutuhan akan peta dasar yang akurat dan konsisten menjadi sangat krusial untuk mendukung berbagai kebijakan, mulai dari tata ruang hingga pertahanan nasional.
Menjawab tantangan ini, Badan Informasi Geospasial (BIG) melalui Direktorat Pemetaan Rupabumi Wilayah Laut dan Pantai (DPRWLP) menggelar diskusi panel bertema “Generalisasi Peta Dasar di Wilayah Laut dan Pantai untuk Skala Menengah dan Skala Kecil” pada Kamis, 27 Mei 2025.
Direktur DPRWLP, Astrit Rimayanti, menekankan bahwa proses generalisasi dilakukan secara bertahap dari skala besar menuju skala menengah dan kecil. Hal ini bertujuan untuk menjaga konsistensi dan akurasi informasi geospasial. Diskusi ini menjadi wadah berbagi gagasan untuk menghasilkan peta dasar yang informatif dan bermanfaat.
Dalam sesi paparan, Yorda Prita Utama dari DPRWLP menyampaikan materi tentang spesifikasi teknis garis pantai berdasarkan Surat Keputusan Deputi BIG Nomor 4.1 Tahun 2023. Ia menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis garis pantai berdasarkan datum pasang surut:
- Mean high water spring (MHWS) untuk garis pantai pasang tertinggi.
- Mean sea level (MSL) untuk garis pantai muka laut rata-rata.
- Lowest astronomical tide (LAT) untuk garis pantai surut terendah.
Yorda juga mengemukaan beberapa metode yang digunakan, seperti metode eliminasi, penggabungan, simplifikasi, atau smoothing. Sementara, untuk mengevaluasi kualitas, dilakukan dengan RMSE (root mean squared error) dan CE90 (circular error 90%) agar sesuai standar BIG.
Lufti Rangga Saputra dari DPRWLP memaparkan tentang generalisasi hipsografi laut dengan menerapkan pendekatan ladder approach untuk menjaga konsistensi kontur kedalaman antarskala. Ia mengungkapkan tantangan yang dihadapi, seperti perbedaan referensi vertikal seperti geoid, ellipsoid, dan pasut. Wilayah pesisir dan pulau kecil memerlukan perhatian khusus karena rentan terhadap pergeseran data.
Dalam diskusi panel, dihasilkan sejumlah pemikiran kritis. Beberapa di antaranya adalah definisi teknis garis pantai dalam konteks SNI dan IHO, relevansi generalisasi di era digital dengan kemampuan zoom in/zoom out, pemanfaatan garis pantai dalam konteks tata ruang dan perhitungan luas wilayah, serta pentingnya transparansi metode dan pencantuman disclaimer dalam metadata peta. Para panelis juga mengingatkan bahwa proses generalisasi berdampak pada aspek hukum, seperti batas administrasi, legalitas Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), serta ketepatan data spasial untuk kebijakan nasional.
Langkah BIG dalam mengkaji generalisasi peta dasar wilayah laut dan pantai merupakan upaya strategis untuk meningkatkan kualitas data geospasial nasional. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi dan instansi terkait, diharapkan hasil dari diskusi ini dapat menjadi dasar dalam penyusunan pedoman teknis yang komprehensif. Hal ini penting untuk mendukung berbagai kebijakan dan perencanaan pembangunan yang berbasis ruang, serta menjaga kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia.
Sumber: Badan Informasi Geospasial