Default Title
logo spatial highlights
Berdasarkan Data Geospasial, Bandung Dinobatkan sebagai Kota Paling Macet di Indonesia!

Berdasarkan Data Geospasial, Bandung Dinobatkan sebagai Kota Paling Macet di Indonesia!

Kemacetan lalu lintas telah menjadi isu klasik yang menghantui berbagai kota besar di dunia, termasuk Indonesia. Namun kini, berkat perkembangan teknologi geospasial, penilaian terhadap tingkat kemacetan tidak lagi sekadar berdasarkan asumsi atau survei lapangan. Data berbasis GPS dapat memberikan gambaran yang jauh lebih presisi dan komprehensif terkait kondisi lalu lintas. Salah satu contoh nyata dari pemanfaatan teknologi ini datang dari TomTom, perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pemetaan dan navigasi digital.

Dalam laporan terbarunya, TomTom Traffic Index 2024, perusahaan ini merilis daftar 501 kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di dunia. Menariknya, Bandung berhasil menduduki peringkat teratas sebagai kota paling macet di Indonesia!

Dengan rata-rata waktu tempuh 32 menit 37 detik untuk setiap 10 kilometer, warga Bandung disebut-sebut menghabiskan sekitar 108 jam per tahun hanya untuk menunggu di tengah kemacetan. Sebuah angka yang tentu mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan.

Lebih mengejutkannya lagi, secara global, Bandung duduk di peringkat ke-12 sebagai kota termacet di dunia. Peringkat pertama secara keseluruhan dipegang oleh Barranquilla (Kolombia), disusul oleh Kolkata (India) di posisi kedua.

Selain Bandung, beberapa kota besar lain di Indonesia juga masuk dalam 100 besar kota paling macet di dunia versi TomTom, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Palembang. Hal ini menjadi refleksi serius bahwa persoalan kemacetan di Indonesia belum menemukan titik terang penyelesaian yang optimal.

Laporan TomTom tidak sembarangan. Data mereka diperoleh melalui metode floating car data (FCD), yang merupakan teknik pengumpulan data menggunakan perangkat GPS dari berbagai kendaraan yang tersebar di jalan raya. Teknologi ini hampir serupa dengan sistem yang digunakan oleh Google Maps, tetapi TomTom mengintegrasikannya dengan lebih banyak variabel, seperti waktu perjalanan aktual, kondisi cuaca, infrastruktur jalan, proyek perbaikan jalan, volume kendaraan, serta perbandingan waktu tempuh saat lalu lintas lengang vs. padat.

Secara garis besar, tingkat kemacetan ditentukan dari persentase tambahan waktu perjalanan yang dibutuhkan dalam kondisi macet, dibandingkan saat lalu lintas paling lengang. Sebagai contoh, tingkat kemacetan 50% berarti perjalanan pada jam sibuk membutuhkan waktu 50% lebih lama dibandingkan kondisi ideal.

Hasil dari laporan ini seharusnya menjadi cermin sekaligus bahan evaluasi bagi para pemangku kebijakan, baik di tingkat kota maupun nasional. Jika tidak ditangani secara serius dan berbasis data, kemacetan akan terus menjadi momok yang merugikan dari sisi ekonomi, produktivitas, kesehatan, hingga kualitas hidup masyarakat.

Namun di sisi lain, laporan ini juga menunjukkan bahwa teknologi geospasial memiliki potensi luar biasa dalam membantu proses perumusan kebijakan publik. Lewat data real-time yang disajikan secara akurat dan menyeluruh, perencanaan transportasi, pengembangan infrastruktur, hingga kebijakan pengendalian kendaraan bermotor dapat dibuat dengan pendekatan yang lebih berbasis data dan tepat sasaran.

Sumber: TomTom

+
+