Default Title
logo spatial highlights
Bagaimana Atlas 38 Provinsi Indonesia Dibuat dengan Teknologi Geospasial?

Bagaimana Atlas 38 Provinsi Indonesia Dibuat dengan Teknologi Geospasial?

Atlas yang selama ini kita lihat di sekolah atau rumah sejatinya bukan sekadar kumpulan peta yang ditempel rapi di sebuah buku. Di balik lembar-lembar berwarna itu, tersimpan proses panjang, penuh detail, dan penuh tantangan. Hal ini diungkapkan oleh Surveyor Pemetaan Ahli Muda Badan Informasi Geospasial (BIG), Randhi Atiqi, yang menjadi penulis Atlas Indonesia dan Dunia terbitan Erlangga.

Dalam acara peluncuran buku tersebut di Jakarta International Convention Center (JICC), Randhi menceritakan bahwa pembuatan sebuah atlas bisa memakan waktu hingga satu tahun. Proses itu mencakup tiga tahap besar: pengumpulan data, pengolahan, dan penyajian.

“Pertama adalah proses pengumpulan datanya, jadi kita mengumpulkan dulu data-data yang kita ingin membuat peta itu. Kemudian proses pembuatan,” jelas Randhi di JICC, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 25 September 2025 dikutip dari Detik.com.

Image 1

Pengumpulan data dilakukan dari berbagai sumber. Radar dipakai untuk memetakan daratan, sonar menjelajahi dasar laut, sementara citra satelit dan drone digunakan untuk menangkap detail-detail penting, seperti jaringan jalan, rel kereta, bandara, hingga pelabuhan. Semua itu lalu dipilah sesuai kebutuhan dan diolah menjadi data siap pakai.

Tahap berikutnya adalah transformasi data mentah menjadi desain visual. Pemilihan warna, simbol, dan tata letak bukan perkara estetika semata, melainkan kunci agar informasi bisa dipahami dengan cepat oleh pembaca.

Tantangan Data

Namun, perjalanan itu bukan tanpa kendala. Tantangan terbesar, kata Randhi, adalah seleksi data. Indonesia dengan lebih dari 80 ribu desa dan 17 ribu pulau jelas tidak mungkin ditampilkan seluruhnya dalam sebuah atlas. “Banyak tantangannya yang saya sebutkan. Saya merasa tertantang untuk memilih yang mana nih sebaiknya yang kita ambil. Karena ada perasaan kalau dibuang sayang gitu,” ujarnya.

Selain itu, kualitas data juga tidak selalu seragam. Ada kalanya citra satelit tidak seakurat data yang dikumpulkan melalui pesawat atau drone. Seleksi menjadi kunci agar atlas tetap ringkas, tetapi juga akurat dan komprehensif.

Randhi menegaskan, atlas berbeda dengan peta tunggal. Jika peta hanya menggambarkan satu wilayah dalam satu lembar, atlas menyajikan kumpulan peta yang tersusun dalam sebuah alur cerita sesuai tema. Dari situlah atlas menjadi lebih dari sekadar koleksi gambar, melainkan sarana untuk memahami dunia.

“Atlas membantu kita memahami luasnya wilayah Indonesia, kekayaan sumber daya, potensi bencana, hingga peluang pembangunan. Literasi ini penting, bukan hanya untuk pelajar, tapi juga masyarakat luas,” tandas Randhi.

Lebih jauh, ia menambahkan bahwa literasi geospasial yang diperoleh dari atlas bermanfaat lintas bidang, mulai dari pendidikan, perencanaan pembangunan, industri asuransi, hingga pertahanan negara.

+
+