Default Title
logo spatial highlights
Apakah Perusahaan Startup Geospasial Kurang Dilirik oleh Pemerintah?

Apakah Perusahaan Startup Geospasial Kurang Dilirik oleh Pemerintah?

Teknologi geospasial semakin sering digunakan dalam berbagai program pemerintah, seperti Peta Dasar Nasional yang dikelola oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Namun ironisnya, perusahaan-perusahaan swasta, khususnya startup yang bergerak di bidang ini, justru belum mendapatkan perhatian yang sepadan dari pemerintah. Dukungan yang diharapkan berupa kemitraan strategis, insentif, atau bahkan akses terhadap proyek nasional masih sangat minim.

Potensi Besar tapi Minim Dukungan

Salah satu contoh nyata dari kondisi ini adalah Bhumi Vrata Technology (BVT), sebuah startup geospasial asal Indonesia yang mengembangkan perangkat lunak dan alat analisis lokasi. Perusahaan ini bahkan tengah mempertimbangkan untuk memindahkan kantor pusat mereka ke Singapura. Langkah tersebut diambil sebagai respons atas kekhawatiran para investor terhadap ketidakstabilan politik dalam negeri, pemberitaan negatif mengenai ekosistem startup Indonesia, dan minimnya manfaat dari keberadaan kantor pusat di Indonesia.

BVT merasa bahwa selama ini mereka sudah berusaha maksimal untuk mendukung berbagai proyek lokal dengan kepatuhan penuh. Namun, kontribusi mereka tidak dibarengi dengan manfaat yang nyata. Bahkan, mereka mengaku telah mencoba membangun relasi dengan pemerintah, termasuk mengundang menteri ke kantor mereka, namun respons yang diterima jauh dari harapan.

Minimnya Keterlibatan Startup Lokal dalam Proyek Geospasial

Masih rendahnya peran swasta, terutama startup lokal, dalam proyek-proyek geospasial nasional disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, kurangnya pemahaman strategis dari pemerintah terhadap potensi jangka panjang teknologi geospasial. Meskipun banyak digunakan dalam proyek, teknologi ini belum dilihat sebagai pilar penting yang perlu dikembangkan bersama pelaku swasta lokal.

Kedua, proses birokrasi dan pengadaan proyek pemerintah yang kompleks cenderung lebih menguntungkan perusahaan besar atau BUMN. Ini menutup peluang bagi startup untuk berpartisipasi secara langsung, terlebih dengan persyaratan administratif yang tinggi dan minimnya insentif khusus untuk perusahaan rintisan.

Ketiga, tidak adanya regulasi afirmatif yang mendorong kolaborasi aktif antara pemerintah dan startup dalam negeri. Akibatnya, banyak proyek justru lebih memilih menggunakan vendor luar atau perusahaan asing yang sudah mapan meskipun startup lokal memiliki kemampuan yang tak kalah kompetitif.

Kondisi ini tentu memunculkan kekhawatiran. Jika para pelaku teknologi dalam negeri merasa kurang dihargai dan tidak melihat adanya alasan kuat untuk tetap bertahan, bukan tidak mungkin mereka memilih mengembangkan perusahaannya di luar negeri. Ini bukan hanya kehilangan potensi ekonomi, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekosistem inovasi dalam negeri. Lebih jauh lagi, kita bisa kehilangan peluang untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan teknologi geospasial di kawasan Asia Tenggara.

Saatnya Pemerintah Melirik Potensi Lokal

Apa yang dialami Bhumi Vrata Technology seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk lebih serius melibatkan sektor swasta lokal, terutama startup, dalam pengembangan teknologi geospasial. Mereka bukan sekadar penyedia jasa, melainkan mitra strategis dalam pembangunan yang berbasis data, efisiensi, dan keberlanjutan.

Diperlukan kebijakan afirmatif, kemudahan akses proyek, dan dukungan nyata agar startup seperti BVT tidak merasa asing di negeri sendiri. Jika tidak, potensi besar bangsa bisa berpindah tangan ke negara lain bukan karena tidak mampu bersaing, tetapi karena tidak pernah benar-benar diberi kesempatan.

Sumber: ekonomi.bisnis.com

+
+