

Pentingnya Informasi Geospasial dalam Keberlanjutan Sawit Indonesia
Transformasi industri kelapa sawit Indonesia kini tidak lagi hanya berbicara tentang produktivitas dan ekonomi, tetapi juga tentang ketepatan lokasi. Di tengah ketatnya regulasi global, khususnya Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR), informasi geospasial menjadi instrumen utama dalam membuktikan bahwa setiap tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan Indonesia berasal dari lahan yang sah dan bebas deforestasi.
Industri sawit memang berada pada persimpangan penting. Di satu sisi, komoditas ini menjadi penggerak ekonomi nasional dan penyedia utama minyak nabati dunia. Namun di sisi lain, ekspansi perkebunan telah menimbulkan dampak ekologis yang tidak kecil, mulai dari deforestasi, degradasi habitat, hingga kebakaran lahan gambut.
Lonjakan permintaan global untuk pangan dan biofuel turut mempercepat pembukaan lahan baru di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Oleh karena itu, keberlanjutan kini bergantung pada data lokasi yang presisi dan dapat diverifikasi.
Sesuai ketentuan EUDR, setiap produk sawit yang masuk ke pasar Uni Eropa wajib menyertakan informasi geolokasi lahan produksinya. Tujuannya sederhana, yaitu memastikan bahwa lahan tersebut tidak berada di kawasan berhutan setelah 31 Desember 2020. Informasi ini disajikan dalam beberapa bentuk geospasial, seperti titik koordinat (point), untuk menunjukkan lokasi spesifik; garis (line atau polyline), untuk menandai batas atau jalur; serta luasan (polygon), untuk menggambarkan keseluruhan area kebun.
Dengan format tersebut, otoritas EUDR dapat melakukan verifikasi spasial menggunakan peta hutan historis dari sumber seperti Global Forest Watch (GFW). Proses ini memungkinkan auditor memastikan bahwa area kebun tidak melanggar batas kawasan hutan yang ditetapkan.
Lebih jauh, informasi lokasi tersebut diintegrasikan dalam sistem ketelusuran rantai pasok (traceability) dari petani, pabrik, hingga ke kilang dan kapal ekspor. Seluruh data spasial itu kemudian diverifikasi oleh auditor pihak ketiga sebagai bagian dari kewajiban uji tuntas (due diligence). Dengan demikian, geospasial menjadi penghubung tak terlihat antara produksi, perdagangan, dan kepatuhan hukum internasional.
Dalam konteks nasional, Badan Informasi Geospasial (BIG) berperan sebagai tulang punggung penyedia data lokasi yang akurat. Melalui program CORS (Continuously Operating Reference Stations), BIG mengoperasikan jaringan stasiun referensi GPS yang bekerja 24 jam untuk menyediakan data koreksi posisi real-time dengan akurasi tinggi. Infrastruktur ini menjadi basis bagi analisis citra satelit multi-temporal dan berbagai aplikasi pemantauan lahan.
Alumnus Magister Hukum Universitas Airlangga, Akbar Hiznu Mawanda, menilai bahwa lahirnya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025 menjadi momentum untuk memperkuat posisi informasi geospasial dalam sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia. Dalam sebuah opininya di Kumparan, ia mengatakan bahwa sertifikasi sawit berkelanjutan tidak hanya memerlukan kepastian legalitas batas areal tanam, tetapi juga legalitas zonasi kawasan hutan dan kesesuaian dengan rencana tata ruang.
Tanpa informasi geospasial yang presisi dan andal, banyak risiko dapat muncul. Masalah bisa berupa ketidakpastian status hukum lahan, tumpang tindih kawasan, hingga lambannya proses audit sertifikasi. Dalam konteks global, kelemahan data spasial bahkan dapat menghambat ekspor ke pasar Eropa yang mensyaratkan transparansi dan pembuktian spasial bebas deforestasi.
EUDR dengan tegas mewajibkan adanya geolokasi dalam setiap dokumen perdagangan sawit. Persyaratan ini menegaskan bahwa informasi geospasial kini bukan lagi sekadar alat bantu teknis, tetapi fondasi kebijakan publik dan instrumen diplomasi ekonomi.
Informasi geospasial juga berfungsi sebagai “bahasa bersama” antarregulasi. Dalam pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025, pemerintah tengah menyiapkan tiga peraturan menteri sebagai turunan teknis. Penggunaan peta dasar nasional dari BIG dapat menjadi alat harmonisasi agar tidak muncul disharmonisasi antaraturan.
Referensi spasial tunggal (single source of truth) memungkinkan seluruh pemangku kepentingan dapat beroperasi di atas peta dan koordinat yang sama. Hal ini penting untuk menghindari ambiguitas geografis, memastikan sinkronisasi kebijakan, serta menjaga konsistensi implementasi di lapangan. Dengan fondasi data spasial yang kuat, Indonesia tak hanya menjaga pasar ekspor sawitnya, tetapi juga memimpin dalam diplomasi keberlanjutan berbasis geospasial.
