Default Title
logo spatial highlights
Anggaran Belanja Sempit, Sektor Infrastruktur Terhimpit

Anggaran Belanja Sempit, Sektor Infrastruktur Terhimpit

Memasuki tahun 2025, pemerintah Indonesia mengambil langkah efisiensi dalam pengelolaan anggaran negara melalui APBN. Langkah ini diambil sebagai respons atas kondisi ekonomi global yang tidak menentu dan untuk menjaga agar keuangan negara tetap sehat. Tujuan utamanya adalah memangkas pemborosan serta memastikan anggaran digunakan secara lebih efektif dan tepat sasaran. Namun, di balik niat baik tersebut, kebijakan ini membawa dampak yang cukup besar, terutama pada sektor pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Sektor infrastruktur menjadi salah satu yang paling terdampak. Anggaran untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang selama ini bertanggung jawab atas pembangunan fisik nasional mengalami pemotongan yang sangat besar, yakni sekitar 80%. Dari sebelumnya sekitar Rp110 triliun, kini hanya tersisa sekitar Rp29 triliun. Kondisi ini membuat banyak proyek strategis yang sudah dirancang harus dihentikan atau ditunda pelaksanaannya.

Proyek-proyek yang terkena dampaknya meliputi pembangunan 14 bendungan yang penting bagi irigasi dan ketahanan pangan, penundaan revitalisasi danau, serta pengembangan sistem irigasi dan penyediaan air bersih. Di sektor transportasi, rencana pembangunan jalan baru, jembatan, hingga underpass dan flyover juga terpaksa dihentikan. Proyek-proyek penyediaan air minum, pengelolaan limbah, dan pengembangan permukiman, terutama di wilayah tertinggal, ikut tertunda.

Dampaknya pun meluas. Sektor konstruksi dan industri penunjang, seperti bahan bangunan, logistik, serta tenaga kerja harian, turut merasakan tekanan. Peluang kerja berkurang drastis, dan banyak perusahaan konstruksi, terutama lokal, mulai kesulitan beroperasi. Ketidakpastian ini juga membuat investor menjadi lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya di sektor infrastruktur, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Dampak Sosial

Lebih jauh lagi, kehidupan masyarakat juga terkena imbasnya. Ketika infrastruktur publik tertunda pembangunannya, akses terhadap kebutuhan dasar, seperti air bersih, jalan layak, dan sanitasi, pun ikut menurun. Warga di daerah terpencil paling merasakan dampaknya. Mereka harus menempuh jarak lebih jauh, dengan biaya lebih tinggi, hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Tak hanya itu, sektor pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, juga terkena penyesuaian anggaran. Beberapa program layanan yang sebelumnya disubsidi terpaksa dikurangi atau dihentikan. Pengurangan jumlah pegawai honorer yang bukan PNS sebagai bagian dari efisiensi juga menambah daftar panjang pengangguran, terutama di daerah-daerah dengan ketergantungan tinggi terhadap program pemerintah.

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah menurunnya daya beli masyarakat. Karena proyek-proyek yang bersifat padat karya dikurangi, pendapatan masyarakat ikut menyusut. Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional pun ikut menurun. Jika dibiarkan, situasi ini bisa menghambat pencapaian target pembangunan, termasuk misi pengentasan kemiskinan.

Meski begitu, pemerintah menyatakan bahwa kebijakan efisiensi ini bersifat sementara dan selektif. Anggaran untuk sektor yang sangat prioritas, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial, tetap dijaga. Tantangan utamanya adalah bagaimana menyeimbangkan antara upaya penghematan anggaran dengan kebutuhan menjaga kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam kondisi ini, sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sektor swasta menjadi sangat penting. Diperlukan strategi yang fleksibel dan berpihak pada kebutuhan nyata masyarakat, sekaligus membuka lebih banyak ruang bagi investasi swasta agar kekurangan dana pembangunan dapat tertutupi tanpa mengorbankan target pembangunan jangka panjang.

Sumber: BUMN Review, LBS, BEM FGE UGM, Kompas

+
+