Default Title
logo spatial highlights
Ahli UGM Sebut Gempa Rusia Jadi Pelajaran tentang Kesiapan Mitigasi Bencana

Ahli UGM Sebut Gempa Rusia Jadi Pelajaran tentang Kesiapan Mitigasi Bencana

Gempa bumi berkekuatan M 8,8 yang mengguncang lepas pantai Rusia belum lama ini menjadi perhatian dunia, terutama negara-negara yang berada di kawasan Cincin Api Pasifik. Cecep Pratama, S.Si., M.Si., D.Sc., ahli kebumian dan tektonik dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, menyebut bahwa kejadian ini merupakan pelajaran penting tentang kesiapan mitigasi bencana, khususnya yang berkaitan dengan sistem deteksi tsunami dan respons terhadap gempa bumi bermekanisme subduksi.

Gempa ini tergolong sebagai gempa megathrust, yaitu gempa yang terjadi akibat pertemuan dua lempeng tektonik besar. Dalam hal ini, Lempeng Pasifik menunjam ke bawah Lempeng Eurasia, yang sering kali menyebabkan deformasi dasar laut dan memicu tsunami.

Mekanisme Gempa dan Potensi Tsunami

Menurut Cecep, mekanisme dari gempa ini adalah tipe sesar naik (thrust fault), di mana salah satu lempeng terdorong naik secara mendadak akibat pelepasan tekanan yang selama ini terkunci. Dengan kedalaman sekitar 35 km, gempa ini tergolong dangkal, dan posisi serta karakternya cukup berpotensi menghasilkan tsunami.

Saat tekanan di zona subduksi melebihi batas kekuatan batuan, maka terjadi pelepasan mendadak yang menciptakan gelombang kejut, dan jika pelepasan ini memengaruhi dasar laut, maka akan muncul gelombang air laut besar yang kita kenal sebagai tsunami. Meskipun tidak semua gempa jenis ini menghasilkan tsunami, kombinasi faktor-faktor seperti kedalaman, jenis patahan, sudut subduksi, dan besar energi sangat menentukan sejauh mana dampaknya.

Cecep menjelaskan bahwa salah satu indikator penting dari potensi tsunami adalah kecepatan robekan patahan atau rupture velocity. Jika robekan ini berlangsung secara lambat, disebut slow rupture dengan kecepatan kurang dari 2,5 km/detik, maka akan cenderung menciptakan gelombang laut yang besar. Hal ini disebabkan oleh perpindahan volume air yang terjadi dalam durasi yang lebih lama sehingga menciptakan gelombang yang lebih signifikan.

Selain itu, jenis patahan dalam (deep slip thrust fault) juga memperbesar peluang terjadinya tsunami karena mendorong sebagian besar lempeng ke atas dan memindahkan massa air secara vertikal. Dengan demikian, tak heran kejadian seperti di Mentawai atau Aceh tahun 2004 menjadi referensi kuat betapa mekanisme geologis ini sangat berbahaya jika tidak dideteksi secara cepat.

Pengaruh Sudut Kemiringan terhadap Potensi Tsunami

Dalam perspektif geospasial, struktur zona subduksi di berbagai wilayah juga menentukan besarnya risiko. Zona subduksi yang landai, seperti di pantai barat Sumatera, memungkinkan akumulasi tekanan dalam area yang lebih luas, sehingga jika terjadi pelepasan, deformasi vertikal dasar laut pun menjadi lebih besar dan memicu tsunami dengan dampak yang luas. Berbeda dengan zona subduksi yang curam, seperti di selatan Jawa, di mana peluang terjadinya tsunami relatif lebih kecil. Meski demikian, baik zona curam maupun landai sama-sama berpotensi memicu bencana sehingga semua wilayah di sepanjang zona subduksi harus memiliki kesigapan yang sama.

Gempa di Rusia ini memperlihatkan bahwa sistem deteksi tsunami berbasis teknologi geospasial memainkan peranan krusial dalam mitigasi. Penggunaan sensor buoy di tengah samudera, tide gauge di pantai, serta pemantauan deformasi dasar laut melalui satelit radar dan GPS memungkinkan kita memetakan secara real-time perubahan tinggi muka laut dan pergeseran lempeng.

Sistem seperti yang digunakan NOAA (Amerika Serikat) dan BMKG (Indonesia) menjadi garda depan untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Namun, Cecep menekankan bahwa teknologi hanyalah satu sisi dari mitigasi. Edukasi, simulasi, dan kesiapan respons juga tidak kalah penting, khususnya di Indonesia yang memiliki lebih dari 500 kabupaten/kota yang terpapar risiko gempa dan tsunami.

Hal lain yang perlu disadari, kata Cecep, adalah bahwa besarnya magnitudo tidak bisa dipahami secara linear. Skala magnitudo bersifat logaritmik sehingga kenaikan satu angka (misalnya dari 7 ke 8) berarti peningkatan energi sekitar 10 kali lipat. Dengan demikian, gempa M 8,8 di Rusia memiliki daya rusak jauh lebih besar dibandingkan gempa M 7, meski di atas kertas hanya berbeda satu angka.

Hal ini menjadi penting karena sering kali masyarakat tidak memahami bahwa perbedaan angka yang kecil bisa berarti selisih besar dalam kekuatan energi yang dilepaskan. Contohnya adalah perbedaan dampak antara gempa Banten dan gempa Aceh, di mana kekuatan gempa M 9,1 pada 2004 memicu tsunami lintas benua hingga ke pantai Afrika Timur.

Mitigasi Bencana Berbasis Teknologi Geospasial

Indonesia sendiri tidak bisa lepas dari risiko seperti ini. Posisi negara kepulauan di antara tiga lempeng besar dunia (Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik) menjadikannya sangat rentan. Belajar dari kasus Rusia, penting bagi Indonesia untuk terus memperkuat sistem mitigasi bencana berbasis geospasial, mulai dari pemetaan zona rawan, penguatan sistem peringatan dini, edukasi masyarakat, hingga perencanaan tata ruang yang tanggap bencana.

Cecep menyimpulkan bahwa kejadian di Rusia adalah peringatan alam yang tidak boleh diabaikan. Jika tidak disiapkan dengan baik, kejadian serupa bisa menimbulkan kerugian besar, tidak hanya materi, tetapi juga korban jiwa.

Dengan potensi gempa besar yang bisa datang kapan saja dan di mana saja, kesiapsiagaan tidak bisa ditawar. Sistem informasi geospasial, riset kebumian, dan kolaborasi lintas sektor adalah fondasi utama untuk membangun ketangguhan bangsa menghadapi bencana. Rusia memang jauh, tetapi pesannya sangat dekat: jangan pernah lengah terhadap alam.

+
+