Default Title
logo spatial highlights
Sore, Istri dari Masa Depan: Gunakan Geospasial sebagai Narasi Film

Sore, Istri dari Masa Depan: Gunakan Geospasial sebagai Narasi Film

Bayangkan sebuah dunia di mana waktu berhenti berdetak. Tidak ada siang, tidak ada malam, hanya keheningan yang membeku dalam bentangan putih tanpa batas. Di sanalah, di lanskap beku Arktik, cinta dan takdir diuji dalam film terbaru garapan Yandy Laurens, Sore, Istri dari Masa Depan. Film ini tidak hanya menyentuh melalui kisah romansa dan permainan waktu yang kompleks, tetapi juga menghipnotis lewat visual lanskap Arktik yang asing sekaligus memikat, menjadi panggung sunyi bagi perjuangan Sore menyelamatkan Jonathan dari nasibnya.

Arktik sebagai latar cerita bukan hanya pilihan estetis. Ia menyimpan fakta geospasial yang mengejutkan dan relevan secara tematik, di mana tempat ini adalah satu-satunya wilayah di bumi yang tidak memiliki zona waktu tetap. Di sinilah konsep waktu menjadi kabur, tempat di mana siang dan malam kehilangan maknanya.

Mengapa Yandy Laurens memilih Arktik sebagai latar film? Apakah karena keindahannya yang misterius, atau karena fakta bahwa Arktik secara harfiah melampaui batas waktu? Dan apa saja yang menjadikan Arktik begitu unik secara geospasial hingga mampu menyatu sempurna dengan narasi time loop yang mengikat film ini? Mari kita telusuri lebih jauh.

Simbol Time Loop dan Kekekalan

Katie Weeman dalam artikelnya yang berjudul “Time Has No Meaning at the North Pole” menggambarkan situasi ini secara gamblang dalam laporan tentang ekspedisi RV Polarstern, kapal pemecah es Jerman yang terjebak di laut es selama setahun penuh. Para ilmuwan yang berada di kapal itu menyadari bahwa dalam keheningan dan kegelapan Arktik, waktu kehilangan makna. Pergerakan jam hanyalah kesepakatan operasional semata, tanpa hubungan langsung dengan posisi matahari atau siang-malam seperti yang kita kenal. Suatu hari bisa terasa seperti seminggu, atau sebaliknya.

Dalam film Sore, Istri dari Masa Depan, sang tokoh utama, Sore, melakukan perjalanan waktu dari masa depan untuk menyelamatkan Jonathan dari tragedi yang akan terjadi. Latar Arktik kemudian menjadi ruang visual dan metaforis dari “kekosongan waktu” layaknya limbo, tempat antara masa lalu dan masa depan.

Kutipan yang diucapkan Jonathan, “Dalam senyap, beku bumi mengajak mereka yang datang untuk seolah bisa menghentikan waktu. Walau hanya sejenak, rehat,” adalah cerminan dari realitas geospasial di Arktik. Di sana, waktu tidak linier. Matahari hanya terbit dan terbenam sekali dalam setahun. Hari bisa berarti berbulan-bulan terang atau gelap total. Elemen ini seakan menyatu dengan tema film yang melibatkan pengulangan waktu dan percobaan mengubah takdir.

Hidup Tanpa Siang dan Malam

Alasan utama Arktik menjadi zona tanpa waktu adalah karena posisi geografisnya yang berada di dekat kutub bumi, tepatnya di atas Lingkar Arktik. Di wilayah ini, fenomena matahari tengah malam dan malam kutub terjadi secara ekstrem: selama musim panas, matahari bisa bersinar terus-menerus hingga 24 jam dalam sehari selama beberapa minggu atau bulan. Sebaliknya, di musim dingin, malam bisa berlangsung tanpa henti selama periode yang sama.

Kondisi ini membuat konsep waktu berdasarkan jam biologis dan pergerakan matahari menjadi tidak relevan. Di kota-kota seperti Longyearbyen di Svalbard (Norwegia), misalnya, penduduk bisa sarapan pada pukul 3.00 atau joging di bawah cahaya matahari pada pukul 22.00, semua karena langit tetap terang.

Secara teknis, Kutub Utara tidak memiliki zona waktu resmi. Tidak ada negara yang sepenuhnya "memiliki" kutub utara sehingga tidak ada satu pun otoritas yang menetapkan zona waktu tunggal untuk wilayah tersebut. Sebagai hasilnya, kapal, peneliti, atau wisatawan yang berada di sana biasanya menggunakan zona waktu sesuai asal negaranya, waktu UTC, atau zona waktu yang paling praktis tergantung kebutuhan.

Contoh uniknya adalah stasiun penelitian di kutub, di mana satu stasiun bisa menggunakan zona waktu Rusia, sementara stasiun lain yang tak jauh darinya bisa memakai waktu Kanada atau GMT. Dengan demikian, zona waktu menjadi fleksibel, bahkan kadang tidak diberlakukan sama sekali.

Ketika waktu kehilangan maknanya, orang-orang yang tinggal di Arktik harus beradaptasi dengan segala kondisi yang ada. Aktivitas harian ditentukan bukan oleh jam tangan, melainkan oleh jadwal internal dan kebutuhan praktis. Seperti para ilmuwan di Polarstern yang menyadari waktu dari bau roti segar yang menandai hari Minggu, Jonathan menyadari waktu berjalan dari rasa kehilangan, kerinduan, dan cinta. Hal ini juga berdampak pada penggunaan teknologi, seperti jam digital, sistem komunikasi, hingga manajemen logistik, yang harus disesuaikan dengan kenyataan bahwa siang dan malam di Arktik tidak seperti di tempat lain.

Ketika Geospasial Menjadi Narasi

Arktik bukan sekadar latar puitis dalam film Sore, Istri dari Masa Depan. Ia adalah fondasi naratif yang mengakar kuat dalam realitas geospasial. Ketika waktu menjadi cair, tak lagi dikurung oleh siang atau malam, maka tempat seperti Arktik bukan hanya menjadi lokasi, melainkan perwujudan dari tema besar film, yang menjadi penggambaran tentang cinta yang mencoba menantang takdir, dan waktu yang bisa dilipat, diulang, bahkan dilampaui.

Fakta bahwa Arktik tidak memiliki zona waktu resmi, mengalami siang dan malam dalam skala bulan, serta membentuk lanskap psikologis dan emosional yang sunyi, membuatnya menjadi simbol yang ideal bagi ruang antara harapan dan kehilangan, antara masa lalu dan masa depan. Dalam keheningan putihnya, Sore dan Jonathan tidak sekadar berjuang melawan tragedi, tetapi melawan ketetapan alamiah dari waktu itu sendiri.

Melalui pemilihan latar yang cerdas dan bermakna, Yandy Laurens mengajak kita merenung, mungkin untuk sesaat, dalam ruang yang bebas dari jam dan kalender, bahwa manusia bisa benar-benar menghadapi diri sendiri, cintanya, dan pilihannya. Arktik, dengan segala kekosongan waktunya, menjadi tempat paling tepat untuk itu.

Sumber: Scientific American, SustainLife Today

+
+